333 total views
INN OPINI – Mendekati Pilpres 2024 banyak muncul media-media “sontoloyo”. Kata “sontoloyo” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) berarti konyol, tidak beres, atau bodoh.
Media-media “sontoloyo” ini sangat gencar muncul di media sosial. Mereka biasanya mengusung narasi negatif dari pemerintahan berkuasa. Mereka tidak lagi menyuarakan kritik yang membangun, tapi menebar sudut pandang yang merusak.
Bahkan motif mereka dapat dilihat dengan jelas bahwa tujuan mereka adalah mengganti Presiden yang berkuasa yang saat ini. Tidak perduli apa saja prestasi yang dilakukan, media-media hanya menyoroti kesalahan atau keburukan Presiden.
Bahkan media-media “sontoloyo” tidak sungkan menyerang pribadi atau bahkan menyampaikan kabar hoaks sekali pun. Salah satu bukti nyata ngerinya media-media sontoloyo adalah ketika mereka menyerang Yunarto Wijaya di Twitter.
Yunarto Wijaya adalah Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, yang sering memberikan hasil riset politik. Yunarto Wijaya selama ini dikenal sebagai pengamat politik yang menyampaikan pendangan berdasarkan hasil survey. Salah satu media bernama gelora.co belum lama mengulas hal yang tidak pantas terkait Yunarto Wijaya atau yang akrab dipanggil mas Toto.
Media ini dengan terang-terangan menjadikan foto keluarga mas Toto sebagai headline dengan judul yang provokatif dan rasis. Media ini mempersoalkan mas Toto yang merupakan keturunan Tionghoa.
Apa yang dilakukan media-media “sontoloyo” seperti gelora.co ini jelas merusak demokrasi. Demokrasi memang mengusung kebebasan bersuara atau berpendapat.
Akan tetapi kebebasan demokrasi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan bermoral. Kemunculan media-media “sontoloyo” sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru.
Gejolak politik di timur-tengah merupakan salah bukti nyata bagaimana media berubah menjadi senjata dalam konflik.
Media-media seperti ini tidak dapat dianggap sepele karena mendekati pilpres mereka akan semakin gencar dan masif. Sasaran utama mereka adalah generasi muda yang merupakan pemilih pemula.
Hal inilah yang mendorong munculnya istilah baru dalam politik yaitu yang “waras (sehat) jangan mengalah atau diam”. Masyarakat harus lebih aktif dan kristis terhadap media-media yang beredar.
Fenomena munculnya media “sontoloyo” lebih berbahaya lagi jika media mainstream mulai terlibat. Media mainstream dengan segala kekuatannya justru sangat seksi untuk dijadikan senjata.
Kredibilitas dari media saat ini hanya dapat dinilai dari kita masyarakat sendiri. Tidak adanya filter dalam media, sebagai konsekuensi dari demokrasi menuntut kita lebih aktif dan kritis dengan media.