1,173 total views
INN NEWS – Seperti yang telah dilaporkan, bahwa Jepang mengalami penurunan angka kelahiran sebanyak 805,000 pada 2021. Angka ini diprediksi akan terus menurun hingga 2028.
Hal ini tentu menimbulkan beberapa dampak nyata seperti, penurunan jumlah penduduk angkatan produktif, ditutupnya beberapa sekolah, tingginya angka lansia, yang berdampak langsung pada kondisi ekonomi dan sosial secara nasional.
“Jumlah pernikahan juga berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. (Hal ini) berpengaruh pada angka kelahiran yang terus menurun dalam jangka panjang ” kata Takumi Fujinami, kepala analis senior di Japan Research Institute Ltd, kepada The Asahi Shimbun.
Baca juga: Ratusan Sekolah di Jepang Tutup Akibat Resesi Seks
Jepang Bukan Satu-Satunya
Di saat banyak candaan tentang “pandemi dan lockdown akan membuat ledakan kelahiran bayi”, tetapi nyatanya bagi Taiwan, China, Australia, dan negara lainnya, candaan ini tidak berlaku.
Menurut sumber dari Weforum, Taiwan dan China mencatat tingkat kelahiran terendah di dunia pada 2021. Pada 2020, Australia juga melaporkan adanya penurunan populasi untuk pertama kali sejak Perang Dunia-I.
Sementara Yonhap melaporkan, Korea Selatan juga mencatat rekor terendah jumlah kelahiran bayi pada November 2022 lalu.
Beberapa sumber lain juga menyebut pasangan muda yang enggan menikah dan memilih menunda memiliki anak ada di balik penurunan angka kelahiran akhir-akhir ini. Adapun biaya hidup yang tinggi, kurangnya dukungan pengasuhan anak, kesehatan mental, serta pandangan terhadap pernikahan dan keluarga yang berubah belakangan ini menjadi alasan mereka memilih tidak memiliki anak.
Apakah Berdampak Sampai Indonesia?
Eddy Erwan Nopianoor dalam laporannya menyebut Statistisi Madya BPS Banjar yang dimuat Republika, kendati Indonesia belum mengalami krisis populasi namun tingkat kesuburan masyarakat sudah mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir.
Sensus penduduk di tahun 1971 mencatat total fertility rate (TFR) sebesar 5.61%, namun pada 2020 menurun menjadi 2.18%. Salah satu dampak penurunan ini adalah ketidakseimbangan angka populasi di usia tua dan di usia produktif. Apabila angkatan kerja lebih sedikit jumlahnya, maka tidak akan ada cukup pekerja untuk menunjang kebutuhan populasi di usia tua.
Sementara itu, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo menyatakan bahwa Indonesia masih cukup waktu untuk mempersiapkan strategi menghadapi “tren global” ini. Fokus saat ini adalah untuk meningkatkan kualitas keluarga, salah satunya dengan program KB. Dimana program KB bukan bermaksud agar keluarga tidak punya anak, namun mempersiapkan jarak kelahiran anak demi mewujudkan pengasuhan yang sehat dan optimal dalam keluarga.
Terlepas dari banyaknya negara yang mengalami krisis populasi, Indonesia saat ini justru sedang menuju bonus demografi hingga tahun 2030. Banyaknya penduduk berusia produktif di Indonesia tentu dapat dimaksimalkan dengan mendorong produktivitas kerja.
Dengan pembekalan terhadap dunia kerja dan bisnis, serta pengetahuan yang tepat tentang pembangunan keluarga, maka bonus demografi ini dapat memberikan dampak ekonomi-sosial bagi Indonesia hingga ke generasi yang selanjutnya.