553 total views
INN NEWS – Partai berkuasa di bawah pimpinan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengumumkan kemenangan telak dalam pemilihan umum pada hari Minggu, 23 Juli 2023.
Oleh para kritikus dan ahli politik, pemilu ini dianggap sebagai tipuan yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan partai yang jatuh kepada putra sulung Hun Sen.
Pemungutan suara tersebut dianggap merupakan perlombaan tunggal, dengan Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People’s Party – CPP), sebagai raksasa politik yang menguasai pemerintah bertahun-taun, bersanding dengan lawan yang tidak sepadan .
Polling ditutup dengan 84% memilih CPP. Sedangkan 17 partai yang sebagian besar tidak jelas berbagi sisa suara. Dari partai-partai tersebut tidak ada yang memenangkan kursi dalam pemilihan terakhir pada tahun 2018.
“Kami menang telak … tapi kami belum bisa menghitung jumlah kursi,” kata Sok Eysan, juru bicara Partai Rakyat Kamboja (CPP).
Bukan Pesta Demokrasi
Alih-alih menyebutnya sebagai pesta demokrasi, media Sindonews menyebutkan pemilu Kamboja sebagai penobatan pemimpin. Hun Sen sendiri merupakan pemimpin yang menjabat
paling lama di Asia saat ini.
Ia sudah menjabat selama 38 tahun sejak pertama kali sebagai Perdana Menteri Kamboja di tahun 1985. Untuk meneruskan dominasi kekuasaannya, ia mengutus putra sulungnya, Hun Manet, yang lulus dari akademi militer AS di West Point, serta Universitas New York dan Universitas Bristol untuk meneruskan kepemimpinan partai.
Ia telah didukung oleh CPP untuk menerima mandat sebagai “perdana menteri masa depan”.
Pada hari Jumat minggu ini, Hun Sen mengatakan putranya dapat mengambil alih (kepemimpinan) dalam tiga atau empat minggu.
Hal ini pun menuai kritikan dari Mu Sochua, seorang mantan menteri dan anggota Cambodia National Rescue Party (CNRP).
Ia menganggap bahwa Hun Sen seolah mengadakan pemilu “palsu”, untuk membuat kesan ia dan partainya terpilih kembali.
“Kita harus menyebutnya ‘seleksi’ (pemilu), untuk Hun Sen memastikan bahwa CPP akan memilih putranya sebagai perdana menteri Kamboja berikutnya, (hal ini dilakukan) untuk melanjutkan dinasti keluarga Hun.”, katanya.
Beberapa analis mengatakan, gaya kepemimpinan Hun Manet bisa saja berbeda dari ayahnya dan ada kemungkinan untuk menjadi lebih toleran terhadap perbedaan. Namun ia juga dinilai belum banyak pengalaman, karena tidak pernah memegang jabatan politik tertinggi
sebelumnya.
Dalam pelaksanaan pemilu Kamboja, terjadi banyak kejanggalan di lapangan. Salah satunya adalah satu-satunya partai oposisi yang cukup besar, The Candlelight Party, dilarang mencalonkan diri setelah dituduh tidak menyerahkan dokumen yang benar.
Beberapa pemilih akhirnya melakukan protes terhadap rezim dengan menghancurkan surat suara. Tetapi, pemerintah lagi-lagi mengeluarkan peringatan penangkapan pelaku penghancuran surat suara dan mengancam akan memberikan “konsekuensi hukum”.
Mengundang Respon Negara Lain
Setelah pemilu ini, Amerika Serikat menyatakan respon keberatan dengan menghentikan beberapa program bantuan asing di Kamboja dan memberlakukan larangan visa pada individu.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa AS “terganggu” bahwa pemilu ini, di mana CPP tidak menghadapi lawan yang layak, disebut sebagai pemilu yang “tidak bebas dan tidak adil.”
ASEAN Parliamentarians for Human Rights juga mengatakan pemilihan itu adalah “penobatan Hun Sen dan kroni-kroninya”.
“Masyarakat internasional tidak boleh terjebak dan turut mendukung “sandiwara” ini,” kata Eva Kusuma Sundari dari ASEAN Parliamentarians for Human Rights dikutip dari Reuters.