437 total views
INN NEWS – Jagat hukum tanah air tengah bergumul dengan prahara yang terjadi di mahkamah konstitusi atau MK yang ramai dipelestkan menjadi mahkamah keluarga.
Pelesetan itu terjadi atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan mengundang reaksi kontraversial dari publik lantaran diduga sarat akan kepentingan politik di Pilpres 2024.
Putusan itu dianggap syarat kepentingan keluarga Anwar Usman dan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka anak dari kakak iparnya Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Berbagai reaksi keras publik lantaran MK dipahami sebagai salah satu lembaga negara yang lahir dari rahim Reformasi dan diharapkan menjadi salah satu pilar penopang demokrasi.
Sementara itu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie akan memutuskan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman dkk hari ini, Selasa, 7 November 2023 sore.
Setelah dua minggu bekerja, memeriksa puluhan pelapor dan sembilan hakim konstitusi terkait putusan perkara nomor 90, kini giliran MKMK yang ditunggu tajinya.
Putusan MKMK diharapkan sebagai penyelamat kembalinya marwah Mahkamah Konstitusi (MK) yang disorot publik.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman menilai putusan nomor 90 telah mencabik dan mencederai perjuangan reformasi yang melahirkan MK.
“Konsep negara hukum yang kita bangun dengan darah saat reformasi, termasuk dengan melahirkan MK dari rahim reformasi, seolah tercabik dan dirobohkan oleh syahwat kekuasaan,” kata Castro, Selasa (7/11), dihimpun dari Kumparan.
Dia menyebut, praktik yang ditunjukkan oleh MK terkait putusan nomor perkara 90 tersebut adalah politisasi lembaga peradilan atau politicization of judiciary. Ini dinilai membuat demokrasi akan semakin membusuk.
“Beban sejarah ini yang sekarang berada di pundak MKMK. Putusannya akan menentukan MK bisa dipulihkan sebagai the guardian of constitution atau selamanya akan dikenang sebagai the guardian of family,” tambah Castro.
Bagi dia, putusan MKMK akan menjadi representasi apakah mereka sebagai wali konstitusi atau malah mempertebal asumsi atau tagline publik, yakni: ‘Mahkamah Keluarga’.
“Beban sejarah ini yang harus dipertimbangkan oleh MKMK, apakah jadi penyelamat bagi MK atau justru membuat MK makin larut dalam ketidakpercayaan publik,” pungkasnya.
Castro menjelaskan, MKMK tidak bisa membatalkan putusan MK. Wilayah MKMK hanya soal etik. Terlebih, putusan sebuah perkara di MK bersifat final dan mengikat. Hal tersebut adalah mandatory UUD.
“Putusan MK hanya bisa dibatalkan oleh MK sendiri,” ungkap Castro.
Tapi bila MKMK ingin membuat terobosan, tambah Castro, mereka bisa memerintah secara tersirat, baik dalam amar putusan ataupun dalam ratio decidendi bahkan lewat pertimbangan hukumnya, agar MK bersidang kembali untuk memutus norma yang sama — Pasal 169 huruf q UU 7/2017 — dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.
“Jadi pembatalan tetap dilakukan oleh MK sendiri, bukan MKMK. Kan, sudah ada 3 permohonan baru terkait Pasal 169 huruf q itu, jadi MK bisa secara cepat memutus perkara itu, tentu tanpa AU [Anwar Usman] lagi yang kita harapkan sudah diberhentikandengan tidak hormat,” pungkasnya.