804 total views
INN NEWS – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Madah (UGM) Yogyakarta mengatakan, dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memecat Anwar Usman dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) harusnya membuatnya malu dan undur diri dari hakim konstitusi.
“Malu atas pelanggaran berat yang dilakukannya,” kata Herlambang dalam keterangannya Selasa, 7 November 2023, dihimpun dari Tempo.
Tak hanya untuk adik ipar Presiden Joko Widodo itu, Herlambang mengatakan ke keponakan Anwar Usman yakni Gibran Rakabuming Raka juga semestinya punya rasa malu dan mundur karena bisa maju menjadi calon wakil presiden secara cepat karena pamannya.
“Pamannya yang terlibat konflik kepentingan,” kata Herlambang.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK mencopot Anwar Usman dari posisi Ketua MK tak hanya lantaran benturan kepentingan.
Anwar Usman terbukti membuka ruang intervensi pihak luar dalam pengambilan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat capres-cawapres.
Meski mengapresiasi keputusan MKMK yang mencopot Anwar Usman, Herlambang juga menyesalkan putusan yang tidak sejalan dengan kualifikasi sanksi pemberhentian yang diberikan bagi profesi hakim yang melakukan pelanggaran etika berat.
Menurutnya, sesuai Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Pasal 41, Anwar Usman harusnya tidak sekadar diberhentikan dari Ketua Mahkamah Konstitusi biasa, tetapi diberhentikan dengan tidak hormat.
“Putusan MKMK tidak tepat memberikan hukuman bagi AU,” kata Herlambang.
“Etika itu menyasar ke profesi, sebagai hakim. Bukan ke jabatan.” tambahnya.
Sebelumnya MKMK menyatakan Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim. Atas pelanggaran berat itu, MKMK memberikan sanksi pemberhentian dari Ketua MK.
“Terbukti melakukan pelanggaran berat prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan,” kata Ketua MKMK Jimly Asshidiqie saat membacakan putusan di Gedung I MK, Jakarta, Selasa (7/11).
Kendati demikiam, Jimly Asshiddiqie enggan buka suara tentang pihak yang mengintervensi paman Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka itu.
“Tidak semuanya harus diungkap. Pokoknya itu jadi alasan kita berhentikan jadi ketua,” kata Jimly.
Intervensi itu, menurut Jimly, tidak harus selalu merupakan inisiatif dari pihak yang mengintervensi. Dia mengatakan hal itu merupakan budaya feodal. “Tapi itu ada, dalam arti ya sebenarnya sudah jadi praktik di banyak tempat,” kata Jimly Asshiddiqie.
Akademisi Universitas Gadjah Mada itu juga menyoroti hakim MKMK yang tidak mengungkap apa makna intervensi atau adanya pengaruh eksternal dalam putusan itu.
Padahal, menurut Herlambang, hal ini bisa menjadi dasar dibukanya fakta lebih jauh soal pelanggaran etika yang memberikan pengaruh eksternal itu bisa terjadi.