497 total views
INN NEWS – Pemilu 2024 akhir-akhir ini sedang menjadi trending topic di berbagai kalangan masyarakat. Dari mereka yang pekerja kantoran, buruh harian; ibu-ibu rumah tangga, aktivis; anak-anak sekolah, mahasiswa, hingga para dosen dan expert di berbagai jenis keilmuan.
Pemilu kali ini juga lengkap dengan drama politik di belakangnya. Mulai dari putusan batas usia Capres-Cawapres, munculnya isu 3 periode kepresidenan, hingga dugaan nepotisme oleh pimpinan negara.
Isu-isu ini yang mengancam demokrasi Indonesia seolah dengan jelas dipertontonkan kepada publik tanpa ada rasa malu.
OLIGARKI DIBANGUN DENGAN DALIH “KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN”, NAMUN HANYA MENGUNTUNGKAN SEGELINTIR ORANG TERDEKAT. ATURAN DITABRAK, YANG MENGUNTUNGKAN DIRANGKUL, YANG MEMBERI KRITIK DIBUNGKAM.
Keresahan ini sampai pula kepada para akademisi di berbagai kampus di Indonesia. Dua minggu jelang Pemilu, gelombang protes dari persatuan guru besar dan dosen di berbagai kampus muncul.
Dimulai dari kampus perjuangan UGM, gelombang protes ini bergulir ke kampus UII, UI, Unpad, Unhas, UMY, dan kampus lainnya.
Sebagai masyarakat awam tentu tidak boleh menganggap remeh sikap dari para akademisi ini. Instansi pendidikan tertinggi, yang di dalamnya penuh dengan berbagai macam ide soal politik dan pemerintahan bangsa ini, untuk urusan demokrasi menyatakan satu suara: resah dengan kondisi demokrasi hari ini.
Dalam isi petisi protes, Universitas Indonesia (UI) mengaku terpanggil untuk menabuh genderang memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak. Sedangkan Universitas Hasanuddin (Unhas) mengingatkan Presiden Jokowi dan semua pejabat negara, aparatur hukum, dan aktor politik yang berada di kabinet untuk tetap berada di koridor demokrasi.
Dari kata kunci yang didapat dari pernyataan petisi tiap kampus, semuanya sepakat demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi sedang tidak baik-baik saja.
Bagaimana Kita Merespon?
Tentu petisi protes ini tidak boleh dianggap remeh, apalagi dikerdilkan dengan memberi label “cari muka”, ditunggangi, dan terafiliasi dengan kubu tertentu. Sivitas akademika sama-sama warga negara yang memiliki hak menyampaikan pendapat.
Bahkan pendapat mereka perlu didengar layaknya seorang experts yang memberikan rekomendasi kepada presiden. Pendapat mereka seharusnya didengar sebagai kritik saintifik dan bahan koreksi pemerintahan Jokowi.
Sebagai seorang guru besar dan tenaga pendidik, sikap para sivitas akademika di berbagai kampus ini tentu memberikan sebuah teladan yang benar untuk ditiru.
Sebuah kedewasaan dalam berdemokrasi, menyatakan ketidaksetujuan sikap dengan tegas dan cara yang beretika. Seolah sengaja memberikan kontras dengan pemerintah saat ini yang nir-etika dalam berpolitik.
Teringat sebuah semboyan dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara; “ing ngarsa sung tuladha” (di depan memberi teladan), “ing madya mangun karsa” (di tengah memberi ide/gagasan), “tut wuri handayani” (di belakang memberi dorongan). Nampaknya semboyan ini yang sedang berusaha diamalkan oleh para dosen dan guru besar yang melayangkan petisi ini.
Memberikan inspirasi, buah ide dan gagasan, serta dorongan kepada masyarakat luas untuk merespon keresahan mereka.
Akankah Mahasiswa Hanya Diam?
Sebagai sesama “orang terdidik”, peran mahasiswa merespon petisi protes ini tentu sangat dinantikan. Mahasiswa Indonesia saat ini merupakan Generasi Z, yang digadang-gadang menjadi “penentu suara” dalam Pemilu 2024. Para paslon berebut suara generasi muda dengan berbagai cara.
Cara yang paling “gampangan” menggaet suara mereka adalah dengan gimmick. Masalahnya, apakah akan selamanya mahasiswa bisa percaya dengan gimmick?
Sekalipun Generasi Z sering dilabeli generasi yang suka sesuatu yang entertaining, namun saya masih mempercayai generasi ini sebagai generasi yang cerdas memilah informasi. Bukan sekedar percaya gimmick, tetapi generasi yang mengedepankan hati nurani dan logic, termasuk dalam mementukan pilihan di Pemilu 2024.
Petisi dari guru besar dan dosen seperti memberikan konfirmasi dan validasi atas problematika yang terjadi, namun suara generasi muda tetaplah menjadi kunci. Proporsi jumlah pemilih yang didominasi generasi muda dapat mengubah peta demokrasi Indonesia.
Masih ada 9 hari sebelum Pemilu, ini waktunya generasi muda untuk minggir sebentar dari distraksi media sosial yang dipenuhi potongan video yang sudah dipoles sedemikian rupa oleh buzzer politik.
Gunakan waktu untuk pelajari kembali track record, partai yang terafiliasi, isu prioritas Paslon, visi misi Paslon, dan segala hal yang belum kamu ketahui soal Pemilu 2024.
Pastikanlah hati nuranimu tetap benar, sehingga kami dimampukan untuk memilih pemimpin yang juga menjunjung tinggi kebenaran dan menggunakan cara-cara yang benar dalam meraih kekuasaan.
Mahasiswa dan generasi muda, mari berhenti menjadi apatis dan tidak peduli. Ketika di depan mata sudah ditampilkan realita, maka gunakan akal sehatmu untuk mencerna semuanya.
Saat di hadapanmu sudah ada orang-orang yang memberi teladan, pertimbangkanlah untuk mengambil langkah yang serupa. Jadilah kritis, beretika dalam berpendapat, dan tetap kawal demokrasi di bangsa ini!