776 total views
Indonesia bersiap menyambut Pemilu 2024, diiringi kebangkitan platform ideologis Orde Baru (Orba) di bawah pemerintahan otoriter Soeharto. Munculnya calon presiden yang memiliki hubungan erat dengan Orba memicu kekhawatiran akan kembalinya masa kelam penuh represi dan pembatasan hak asasi manusia.
Salah satu contoh nyata represi Orba adalah Instruksi Presiden No.14/1967 yang melarang perayaan hari raya Tionghoa. Kebijakan ini mencerminkan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang sistemik terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Kegelapan Orba ini kemudian dihapuskan oleh Gus Dur, presiden keempat Indonesia, melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres No.14/1967.
Semangat demokratisasi Gus Dur menjadi simbol perlawanan terhadap represi Orba. Gus Dur, seorang pejuang kemanusiaan dan pluralisme, memajukan toleransi dan kesetaraan bagi semua kelompok masyarakat. Keberaniannya melawan diskriminasi dan otoritarianisme Orba menjadi teladan bagi generasi muda dalam menjaga demokrasi.
Pada Pemilu 2024, semangat Gus Dur harus dikobarkan kembali. Kita harus menolak kembalinya Orba dengan segala bentuk represi dan diskriminasinya. Dukungan terhadap pasangan calon presiden yang terkoneksi dengan Orba berarti membahayakan demokrasi dan mengantarkan Indonesia kembali ke masa kelam.
Mari kita jaga demokrasi dengan memilih pemimpin yang berkomitmen pada toleransi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Jangan biarkan bayang-bayang Orba menghantui masa depan Indonesia. Semangat Gus Dur dalam melawan represi dan diskriminasi harus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus memperjuangkan demokrasi yang adil dan sejahtera.
Mari kita wujudkan Indonesia yang demokratis, toleran, dan sejahtera dengan menolak kembalinya Orba di Pemilu 2024.
Dr. Hanny Setiawan, MBA