500 total views
INN Internasional – Korban utang China terus bertambah usai beberapa waktu lalu Laos hingga Srilanka harus mengalami krisis ekonomi.
Diketahui baru-baru ini Laos mengalami krisis ekonomi sulit melunasi utang China.
Hal ini bukanlah kejadian mendadak, melainkan akumulasi dari beberapa tahun terakhir, yang semakin memunculkan kekhawatiran terkait ketergantungan negara kecil ini pada pemberi pinjaman terbesarnya, yaitu China.
China telah menjadi investor asing terbesar di Laos sejak akhir tahun 2013, dan sejak saat itu, pengaruhnya terus meningkat.
Sebagian besar utang publik Laos, yang diperkirakan mencapai 122% dari PDB pada tahun ini menurut IMF, berasal dari Beijing melalui proyek infrastruktur di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Laos telah meminjam miliaran dolar dari pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk proyek-proyek seperti jalur kereta api, jalan raya, dan pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air, yang menyebabkan habisnya cadangan devisa negara tersebut.
Dengan tambahan beban kenaikan harga pangan dan bahan bakar global, bersamaan dengan krisis mata uang, kip Laos mengalami depresiasi signifikan terhadap dolar AS, mengakibatkan lonjakan inflasi.
Khawatir akan kehancuran ekonomi jika krisis ini tidak terkendali, pemerintah Laos telah mengambil langkah-langkah stabilisasi, termasuk peningkatan suku bunga, penerbitan obligasi, dan kerja sama dengan Bank Pembangunan Asia dalam manajemen utang. Namun, tanpa kesepakatan pengurangan utang yang jelas dengan China, kesulitan keuangan Laos kemungkinan akan terus berlanjut.
Beberapa laporan media telah mengingatkan mengenai potensi “jebakan utang” yang dihadapi oleh Laos dari pemberi pinjaman utama mereka, China. Istilah ini mengacu pada situasi di mana Beijing dapat menyita aset infrastruktur berharga di negara tersebut jika terjadi kegagalan pembayaran atau keterlambatan pembayaran.
Kekhawatiran semakin meluas setelah Électricité du Laos, perusahaan energi milik negara yang berkontribusi sekitar 37% dari total utang luar negeri Laos, menandatangani perjanjian konsesi 25 tahun dengan China Southern Power Grid pada tahun 2021. Perjanjian ini memberikan perusahaan milik negara China kepemilikan mayoritas dan hak untuk mengekspor listrik Laos ke luar negeri.
Selain Laos, sudah terdapat beberapa negara yang masuk ‘jebakan’ utang China. Berikut negara-negara yang terperangkap utang China signifikan.
Sri Lanka
Sri Lanka menjadi contoh nyata negara yang sepenuhnya terjebak dalam utang China. Gagal melunasi utang pembangunan Pelabuhan Hambantota senilai US$ 361 juta, Sri Lanka pada 2016 menyerahkan pelabuhan tersebut kepada China. Saat ini, negara ini menghadapi krisis ekonomi yang merambat ke arena politik, menciptakan tekanan yang mendorong keinginan untuk pergantian rezim.
Uganda
Uganda berusaha mengubah perjanjian pinjaman dengan China, khususnya terkait bandara internasional Entebbe. Meskipun sudah berusaha bernegosiasi sejak Maret 2021, Uganda belum berhasil mencapai kesepakatan. Transaksi dengan Bank Export-Import (EXIM) China membawa risiko kehilangan bandara internasional, menyulut pertanyaan tentang pengawasan dan evaluasi birokrat sebelum menandatangani perjanjian internasional.
Kenya
Kenya berisiko tidak mampu membayar utang terkait proyek kereta api Mombasa-Nairobi senilai US$ 3,6 miliar dari Bank EXIM China. Auditor jenderal negara telah memperingatkan bahwa kegagalan membayar utang dapat menyebabkan kehilangan aset berharga seperti pelabuhan Mombasa. Meskipun pemerintah Kenya membantah, peringatan ini menciptakan ketidakpastian ekonomi.
Maladewa
Maladewa terjerat utang China dengan jumlah yang signifikan, terutama terkait proyek Jembatan Persahabatan China-Maladewa. Dengan total utang mencapai US$ 1,1 hingga US$ 1,4 miliar, negara pulau ini, yang bergantung pada sektor pariwisata, kesulitan membayar utang akibat dampak pandemi COVID-19.
Pakistan
Pakistan menjadi negara terbaru yang terjebak utang China. Dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Karot, China memberlakukan suku bunga tinggi hingga 5,11%, sementara persyaratan pembayaran dan transparansi minim. Keprihatinan meningkat karena posisi Pakistan sebagai penerima bantuan terbesar dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).
CNBCI