456 total views
INN NEWS – Sehari dua hari ini ramai di media sosial warganet ramai-ramai merilis sebuah poster di Instagram story untuk mendukung masyarakat Papua.
Poster viral itu bertuliskan ‘All Eyes on Papua’ dan ramai dibagikan melalui fitur ‘add yours’.
Pantauan INN di Instagram pagi ini, Senin, 3 Juni 2024 pagi, Insta Story makin ramai membagikan fitur yang memperlihatkan gambar hasil kecerdasan buatan (AI) pohon-pohon yang kering di lahan tandus.
Lalu di antara pohon-pohon itu, ada puluhan orang yang digambarkan sebagai masyarakat adat Papua.
Berdasarkan unggahan di akun X (Twitter) @tanyakanrl pada Jumat 31Mei 2024, poster ‘All Eyes on Papua’ itu dibagikan karena hak rakyat Papua Tengah direnggut paksa oleh penguasa. Sehingga, dia meminta warganet lain untuk ikut bersuara.
Sementara itu, akun @machigyu menayangkan video masyarakat adat Awyu, Papua, kala menggelar aksi di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta. Aksi protes itu digelar, karena hutan adat mereka diserobot perusahaan sawit.
“Masyarakat adat awyu Papua berdemo di depan MA. Mereka menyampaikan hutan adat tempat tinggal mereka diserobot perusahaan sawit. And no one cares. ALL EYES ON PAPUA,” tuturnya.
“Dari sini kita akan paham bahwa saudara kita di Indonesia dimiskinkan oleh para pejabat, petinggi rakus yg isi otaknya bisnis semua. Sacrificing forests for oil palm plantations is a selfish and inhumane act. DON’T STOP TALKING ABOUT PAPUA!!,” cuit akun @variabel.
Polemik Hutan Masyarakat Adat Papua
Mengutip Antara, All Eyes on Papua berkaitan dengan permintaan masyarakat adat Awyu dan Moi, agar hutannya dikembalikan dan diselamatkan dari pembukaan perkebunan sawit.
Hutan masyarakat Awyu memang sudah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah.
Proyek tersebut dioperasikan oleh tujuh perusahaan, yakni PT MJR, PT KCP, PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT MSM, dan PT NUM. Tidak hanya itu, pemerintah provinsi juga mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.
PT tersebut mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar yang sebagian berada di hutan adat marga Moro, bagian dari suku Awyu. Pemberian izin lingkungan kepada PT IAL kemudian digugat oleh Hendrikus Woro yang kini tengah bergulir di MA.
Atas pembukaan perkebunan sawit di Bumi Cenderawasih, suku Awyu dari Boven Digoel dan suku Moi di Sorong menggelar aksi damai di depan Gedung MA, Senin 27 Mei 2024. Mereka mengenakan baju khas suku masing-masing sambil menggelar ritual adat dan memanjatkan doa.
Suku Awyu dan Moi meminta supaya MA menjatuhkan putusan dan membatalkan izin perusahaan sawit yang sedang mereka lawan.
Mengenal Suku Awyu dan Suku Moi
Suku Awyu yang melawan pembabatan hutan adat untuk pembukaan perkebunan sawit adalah salah satu dari ratusan kelompok suku adat di Papua. Suku tersebut mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Mappi dan Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.
Suku Awyu yang menggunakan dialek Awyu bermukim di di dekat Sungai Bamgi, Sungai Edera, Sungai Kia, Sungai Mappi, Sungai Pesue dan Asue, dan Sungai Digoel, serta daerah lahan gambut dan rawa.
Sementara itu, suku Moi yang berupaya menyelamatkan hutan adatnya dari kemusnahan banyak ditemui di sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Suku Moi terbagi ke dalam tujuh subsuku, yakni Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.
Suku Moi sejak zaman dahulu sudah terbiasa melaut, sehingga aktivitas mereka dengan melaut dan perahu tidak bisa dilepaskan.
Gugatan Sengketa Hutan
Suku Awyu tidak hanya menggugat PT IAL, namun juga mengajukan kasasi atas PT KCP dan PT MJR. Sebelumnya, mereka kalah ketika mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Mereka kemudian mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim PTUN Jakarta. Di sisi lain, suku Moi juga sedang melakukan perlawanan terhadap PT SAS yang menggunduli 18.160 hektar hutan adat untuk perkebunan sawit.
PT SAS sempat memegang konsesi seluas 40.000 hektar lahan di Kabupaten Sorong, namun pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha pada 2022. Keputusan pemerintah tersebut kemudian direspons melalui gugatan ke PTUN Jakarta.
ANTARA