502 total views
SOLO – Menjelang tahun Pemilu 2024 yang kian mendekat, capres-cawapres maupun calon legislatif (caleg) ramai menggagas program-program pencegahan stunting dengan cara mereka masing-masing.
Lantas kenapa harus stunting?
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak.
Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 14% pada tahun 2024.
Secara umum, penyebab stunting dapat dibagi menjadi tiga faktor utama, yaitu:
- Faktor gizi, seperti kekurangan asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
- Faktor kesehatan, seperti penyakit infeksi berulang, anemia, dan gizi buruk.
- Faktor lingkungan, seperti sanitasi buruk, kurangnya akses air bersih, dan kemiskinan.
Untuk mencegah stunting, diperlukan upaya yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga swasta.
Menurut Dinar Nandini, Kordinator Kota Sehat Indonesia (KSI), stunting merupakan masalah kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi. Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah faktor sosial budaya, seperti pernikahan dini dan pola asuh yang tidak tepat.
Jadi pencegahan stunting menurutnya tak cukup hanya dengan program seperti makan gratis, susu gratis, dll untuk pemenuhan gizi. Sebab masalah stunting kata Dinar sangat kompleks.
“Stunting itu masalah kompleks sebenarnya, bukan hanya masalah gizi. Siklus dari awal kehidupan, 1000 hari pertama kehidupan dimulai dari masa konsepsi atau pembuahan, itu sudah jadi momen penting yang harus diperhatikan,” terang Dinar.
Pernikahan dini, misalnya, dapat menyebabkan stunting karena ibu yang hamil di usia muda cenderung memiliki risiko anemia yang lebih tinggi.
“Anemia dapat menyebabkan kekurangan oksigen ke janin, sehingga dapat menghambat pertumbuhannya,” ungkap Dinar.
Selain itu kata Dinar, pola asuh yang tidak tepat juga dapat menyebabkan stunting. Misalnya memberikan makanan yang tidak sesuai dengan usia anak, atau tidak memberikan ASI eksklusif.
“Pola asuh yang kurang bisa memicu perkembangan anak nanti bisa delay di perkembangannya. Pola asuh yang gak pas bisa bikin anak salah pergaulan sehingga jatuh ke pernikahan dini atau marrige by accident,” kata Dinar.
Oleh karena itu, untuk mencegah stunting secara efektif kata Dinar diperlukan upaya yang komprehensif, termasuk:
- Peningkatan akses terhadap makanan bergizi, terutama untuk keluarga miskin.
- Pemberian penyuluhan dan edukasi tentang pentingnya gizi bagi ibu hamil, anak, dan keluarga (terutama masyarakat kalangan bawah dan masyarakat adat)
- Pemberian layanan kesehatan yang berkualitas, terutama untuk pencegahan dan penanganan penyakit infeksi.
- Peningkatan akses air bersih dan sanitasi yang baik.
- Pemberdayaan masyarakat untuk mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak mendukung pencegahan stunting.
- Pemerintah juga perlu mendorong agar tidak terjadinya pernikahan dini, dan memberikan akses vitamin untuk remaja dan ibu hamil. Selain itu, pemberian ASI eksklusif juga perlu ditingkatkan, terutama untuk anak usia 0-6 bulan.
“Ini yang penting, gencarkan ASI ekslusif. Bagus itu. Karena kalau sudah masuk usia sekolah itu agak ribet karena anak sudah bisa memilih makanan sendiri,” imbuh Dinar.
Dengan upaya yang komprehensif dan kebijakan yang tepat, diharapkan prevalensi stunting di Indonesia dapat diturunkan secara signifikan.