334 total views
RISET – Di tengah gemerlap pembangunan dan hiruk-pikuk pertumbuhan ekonomi, ada cerita yang jarang terdengar – kisah tentang dua Indonesia yang semakin menjauh satu sama lain.
Bayangkan sebuah tangga, di mana anak-anak tangganya tidak lagi terhubung, menciptakan jurang yang semakin dalam antara mereka yang di atas dan yang di bawah.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan membuka tabir realitas ini. Jika kita melihat periode Oktober 2014 hingga September 2024, kita menyaksikan drama yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, segelintir orang – tepatnya 141.619 rekening – menikmati rata-rata simpanan Rp32,78 miliar per rekening. Sementara di sisi lain, lebih dari 586 juta rekening hanya memiliki rata-rata Rp1,80 juta per rekening.
Lebih menyedihkan lagi, nilai simpanan kelompok menengah ke bawah ini terus merosot dari Rp3,83 juta menjadi Rp1,80 juta dalam kurun waktu tersebut. Ini bukan sekadar angka – ini adalah cermin dari erosi kesejahteraan kelas menengah Indonesia.
Seperti yang diungkapkan ekonom Thomas Piketty dalam bukunya “Capital in the Twenty-First Century”: “Ketimpangan ekonomi bukanlah sekadar masalah teknis, tetapi merupakan ancaman nyata terhadap nilai-nilai demokratis dan stabilitas sosial suatu negara.” Pernyataan ini seolah menjadi peringatan bagi kondisi Indonesia saat ini.
Sosiolog Robert Reich juga pernah mengingatkan, “Ketika kelas menengah mulai kehilangan daya belinya, itu adalah tanda bahaya bagi seluruh struktur ekonomi.” Dan inilah yang kita saksikan – bukan hanya penurunan nilai simpanan, tetapi juga erosi fundamental dari apa yang kita sebut sebagai kelas menengah Indonesia.
Grafik ini menceritakan lebih dari sekadar data finansial. Ia berbicara tentang mimpi-mimpi yang tertunda, tentang anak-anak yang mungkin tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi, tentang rencana pensiun yang harus direvisi, dan tentang aspirasi kelas menengah yang perlahan tergerus inflasi dan tekanan ekonomi.
Yang kita saksikan bukanlah sekadar ketimpangan – ini adalah kisah tentang bagaimana jembatan sosial yang seharusnya menghubungkan berbagai lapisan masyarakat perlahan-lahan mulai retak.
Ketika 141.619 rekening memiliki total simpanan yang jauh melampaui 586 juta rekening lainnya, kita tidak hanya berbicara tentang ketimpangan finansial, tetapi juga tentang ketimpangan kesempatan, akses, dan masa depan.
Jika tren ini dibiarkan berlanjut, kita mungkin sedang menyaksikan metamorfosis struktur sosial Indonesia – dari yang berbentuk diamond (dengan kelas menengah yang kuat) menjadi hourglass (dengan jurang pemisah yang semakin lebar antara kaya dan miskin). Ini bukan hanya tentang angka-angka di rekening bank, tapi tentang masa depan kohesi sosial bangsa ini.
Apakah kita akan membiarkan kisah ini terus berlanjut? Atau sudah waktunya kita menulis ulang narasi ini dengan kebijakan yang lebih berpihak pada penguatan kelas menengah Indonesia?
TIM RISET INN