168 total views
INN INTERNASIONAL – Baru-baru ini Presiden Prabowo Subianto barus aja bertemu Presiden Tiongkok Xi Jinping dan menandatangani sejumlah kesepakatan kerja sama antara kedua negara.
Namun, penandatanganan itu dianggap sebagai kekeliruan.
Mengapa demikian? Penandatangan itu sama saja Indonesia mengakui klaim kedaulatan Tiongkok dekat Laut Natuna yang masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Menurut Peneliti senior di Pusat Kebijakan Laut Berkelanjutan di Universitas Indonesia, Aristyo Rizka Darmawan seperti diberitakan Media Indonesia, melansir Senin (11/11) mengatakan, kerja sama tersebut justru keliru karena sebenarnya tidak ada tumpang tindih wilayah.
Sebelumnya, situs berita Bloomberg melaporkan Xi dan Prabowo memimpin penandatanganan beberapa dokumen dan nota kesepahaman Sabtu (10/11/2024) kemarin.
Kesepakatan tersebut mencakup pengembangan bersama perikanan dan minyak serta gas di wilayah maritim yang klaimnya tumpang tindih antara kedua negara, serta keselamatan maritim, memperdalam kerja sama dalam ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
“Menurut saya ini agak berbahaya, kebijakan Presiden Jokowi sebelumnya ketika Retno Marsudi menjadi menteri luar negeri, kita nggak pernah mengakui klaim ada overlapping atau bertumpang tindih dengan Tiongkok,” sebutnya.
Aristyo menyebut langkah Prabowo melahirkan permasalahan yang fundamental.
Menurutnya Indonesia seharusnya tidak perlu joint development dengan Tiongkok mengingat tidak pernah ada overlapping claim.
“Ini justru merugikan kita, kita yang punya klaim sah berdasarkan hukum internasional. Kok kita mau joint development dengan Tiongkok yang klaimnya tidak sah berdasarkan hukum internasional? Ini justru merugikan kita,” paparnya.
Ia juga mengatakan kondisi yang terjadi pascapenandatangan sangatlah berbahaya. Pasalnya, Prabowo membuat join agreement dengan dasar yang bertentangan dengan hukum internasional. Hal itu berpotensi merugikan Indonesia.
“Karena kita punya hak berdaulat sepernuhnya terhadap SDA yang ada di Laut Natuna Utara, baik di kolom laut atau minyak dan buminya. Jika kita buat join agreement, artinya kita berbagi dengan Tiongkok padahal mereka tidak punya hak sama sekali,” tegasnya.
Dia menambahkan Indonesia juga menolak istilah perairan terkait atau relevant waters yang digunakan Tiongkok untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut China Selatan.
“Tiongkok tidak punya overlapping claims dengan Indonesia, tapi kita mau buat kesepakatan dan berbagi di wilayah yang mereka klaim secara tidak sah secara hukum internasional. Ini sangat berbahaya,” kritik Aristyo.
Meski berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok di perairan tersebut.
“Posisi ini sudah jelas bahwa Indonesia dengan Tiongkok tidak ada tumpang tindih wilayah, karena kita punya legitimate claims berdasarkan hukum internasional tapi itu overlap dengan klaim Tiongkok yang ilegal,” sebutnya.
Klaim historis Beijing soal perairan tersebut menurutnya tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh hukum internasional.
“Ketika kita mengakui punya tumpang tindih wilayah dengan Tiongkok, maka sebenarnya kita mengakui klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan hukum Internasional,” pungkasnya.