163 total views
RISET – Data ICW 2014-2023 memberikan gambaran transformasi mengkhawatirkan pemerintahan Jokowi dari awal yang menjanjikan menuju praktik “authoritarian legalism” – istilah yang dipopulerkan akademisi Jens Meierhenrich untuk menggambarkan penggunaan instrumen hukum sebagai alat kontrol politik.
Lonjakan kasus korupsi dari 271 (2019) ke 791 (2023) mencerminkan kegagalan sistemik dalam pemberantasan korupsi.
Fenomena ini tidak bisa dipisahkan dari menguatnya nepotisme dan dinasti politik, terlihat dari penempatan putra presiden dan menantu sebagai walikota-wapres disaat Jokow masih aktif menjabat, serta munculnya istilah “Ring 1” yang menunjukkan oligarki keluarga dalam kebijakan.
Penggunaan BUMN sebagai “parking lot” bagi kerabat elite politik semakin memperkuat indikasi nepotisme ini.
Prof. Mark Tushnet dari Harvard Law School mengingatkan: “Authoritarian legalism operates through formal legal rules, but deploys them primarily as instruments of power rather than as constraints on its exercise.” Di Indonesia, instrumentalisasi hukum ini terlihat dari kriminalisasi aktivis dan kritikus pemerintah, selective justice dalam kasus-kasus korupsi besar, pelemahan sistematis KPK melalui revisi UU, dan politisasi institusi penegak hukum.
Prof. Tom Ginsburg dari University of Chicago mencatat fenomena “capture” institusional: “The hallmark of authoritarian legalism is not the absence of law, but its transformation into a tool of power preservation.” Ini termanifestasi dalam berbagai kontroversi di kepolisian seperti kasus Sambo, selektivitas penuntutan di kejaksaan, inkonsistensi putusan kasus korupsi di pengadilan, dan perubahan fundamental KPK pasca revisi UU.
Prof. Miriam Aukerman menyebut fenomena ini sebagai “legalized corruption” – di mana korupsi tidak lagi sembunyi-sembunyi tapi justru difasilitasi sistem, mengakibatkan normalisasi praktik nepotisme, pelemahan checks and balances, delegitimasi kritik dan oposisi, serta erosi kepercayaan publik.
INSTRUMENTALISASI HUKUM MENGHANCURKAN DEMOKRASI
Data ICW memperlihatkan periode 2019-2023 sebagai masa di mana “authoritarian legalism” mencapai puncaknya. Prof. Kim Lane Scheppele memperingatkan: “When law becomes primarily an instrument of power rather than its constraint, democracy itself is at risk.” Degradasi kualitas demokrasi, hilangnya independensi institusi, dan normalisasi praktik korupsi telah menciptakan “captured state” – negara yang dikendalikan kepentingan elit.
Prof. Juan Linz dalam karyanya “Totalitarian and Authoritarian Regimes” menegaskan: “The most dangerous form of authoritarianism is not one that openly rejects democratic principles, but one that corrupts them from within while maintaining a democratic facade.”
Reformasi mendasar sistem hukum, penguatan independensi lembaga, pembatasan kekuasaan eksekutif, dan revitalisasi gerakan antikorupsi menjadi kebutuhan mendesak.
Seperti dikatakan Prof. Martin Krygier: “The rule of law dies not with a bang but with a whimper, through the accumulated effect of thousand small compromises.”
Pelajaran dari era Jokowi menunjukkan bahwa demokrasi bisa terancam bukan hanya dari kudeta militer, tapi juga dari erosi bertahap melalui instrumentalisasi hukum dan normalisasi korupsi yang sistemik.
TIM RISET IMADEO