258 total views
RISET – Guy Kawasaki pernah mengatakan, “A-players hire A-players; B-players hire C-players, and it goes downhill from there.” Fenomena yang ia sebut “bozo explosion” menggambarkan bagaimana pemimpin yang tidak kompeten cenderung memilih orang-orang yang lebih lemah demi mengamankan posisi mereka.
Di Indonesia, konsep ini terlihat nyata dalam praktik pembentukan kabinet gemuk, di mana beberapa posisi menteri diisi oleh orang-orang yang dipilih bukan karena kemampuan atau rekam jejak mereka, melainkan kedekatan politik atau hubungan personal.
Studi Kasus: Kabinet Gemuk di Indonesia
Dalam beberapa periode pemerintahan, Indonesia menghadapi kritik atas pembentukan kabinet yang dianggap tidak efisien. Istilah kabinet gemuk merujuk pada jumlah menteri yang berlebihan dengan beberapa posisi strategis diisi berdasarkan kedekatan, seperti:
1. Bagi-bagi Jabatan: Posisi menteri diberikan kepada partai politik sebagai bentuk “balas jasa” setelah mendukung pemerintah dalam pemilu. Kompetensi sering kali menjadi faktor kedua setelah kesetiaan politik.
2. Lemahnya Kinerja: Beberapa kementerian yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang atau keahlian di bidang tersebut menunjukkan hasil yang mengecewakan. Contohnya, program-program strategis yang seharusnya berdampak luas justru berakhir dengan inefisiensi dan tumpang tindih anggaran.
3. Ketimpangan Prioritas: Dengan banyaknya menteri, fokus pembangunan sering kali terpecah. Kebijakan menjadi saling berbenturan karena kurangnya koordinasi antar-kementerian.
Jim Collins, penulis Good to Great, menegaskan pentingnya pemimpin berkualitas dengan mengatakan, “First who, then what.” Artinya, pemimpin harus memastikan orang-orang terbaik berada di posisi strategis terlebih dahulu sebelum menetapkan arah kebijakan.
Dalam konteks kabinet Indonesia, pengisian posisi penting tanpa memperhatikan kemampuan individu menjadi salah satu alasan lambatnya reformasi birokrasi dan pembangunan.
Pelajaran dari Kabinet Gemuk
Fenomena ini menjadi contoh nyata dari bozo explosion, di mana sistem politik yang tidak berfokus pada kompetensi menciptakan lingkaran setan ketidakmampuan. Solusi untuk mengatasinya antara lain:
1. Seleksi berbasis meritokrasi: Pemilihan menteri harus didasarkan pada keahlian, bukan kedekatan politik.
2. Evaluasi berkala: Performa menteri perlu dievaluasi secara transparan agar hanya individu yang memberikan kontribusi nyata yang bertahan.
3. Efisiensi struktur kabinet: Jumlah menteri perlu dikurangi dan disesuaikan dengan kebutuhan strategis negara.
Seperti yang dikatakan Kawasaki, “The quality of the leader determines the quality of the team.”
Dalam skala nasional, kualitas pemimpin menentukan arah dan masa depan bangsa. Untuk menghindari bozo explosion di tingkat pemerintahan, Indonesia perlu memastikan bahwa kabinet diisi oleh individu-individu yang bukan hanya loyal, tetapi juga memiliki kompetensi dan integritas tinggi.
Setiap suara rakyat dalam pemilu adalah kunci untuk memutus siklus ini.
Dr. Hanny Setiawan, M.B.A.