242 total views
HEADLINE – Demokrasi, sebuah sistem yang telah menjadi pilar utama banyak negara di dunia, kini menghadapi ancaman baru yang lebih sulit dideteksi tetapi tidak kalah mematikan.
Dalam buku “Bagaimana Demokrasi Mati” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, para penulis menggambarkan bagaimana demokrasi tidak lagi hanya hancur melalui kudeta militer yang spektakuler, tetapi juga lewat cara-cara yang lebih halus dan bertahap.
“Demikianlah cara kita biasa berpikir mengenai matinya demokrasi: di tangan orang-orang bersenjata. Selama Perang Dingin, kudeta menyebabkan hampir tiga dari tiap empat kehancuran demokrasi,” tulis Levitsky dan Ziblat.
Contoh klasik dari kehancuran demokrasi melalui kudeta militer dapat dilihat di Argentina, Brazil, Ghana, hingga Thailand. Kudeta semacam ini biasanya melibatkan kekerasan dan jelas-jelas melanggar konstitusi, sehingga mudah dikenali oleh masyarakat dan komunitas internasional. Namun, ancaman terhadap demokrasi kini tidak selalu datang dalam bentuk tank dan senapan.
Ancaman dari Dalam
Levitsky dan Ziblat mengingatkan bahwa demokrasi juga dapat hancur “bukan di tangan jenderal, melainkan di tangan pemimpin terpilih.” Fenomena ini terjadi ketika pemimpin yang dipilih secara demokratis menggunakan kekuasaan mereka untuk melemahkan institusi yang menjadi penjaga demokrasi. Dalam skenario ini, penghancuran demokrasi sering terjadi secara perlahan—langkah demi langkah, sering kali tak kasat mata.
Beberapa contoh nyata adalah bagaimana Adolf Hitler memanfaatkan kebakaran Reichstag pada 1933 untuk mengonsolidasikan kekuasaan secara penuh di Jerman. Meskipun kasus ini tampak dramatis, pola serupa sering kali terjadi lebih lambat dan tersembunyi di negara-negara modern.
Pemimpin-pemimpin yang beroperasi seperti ini mungkin menggunakan hukum untuk menekan oposisi, membatasi kebebasan pers, atau memanipulasi sistem pemilu demi mengamankan posisi mereka.
Demokrasi yang Terkikis
Proses erosif ini lebih sulit diidentifikasi karena sering kali terjadi dengan dalih legalitas. Misalnya, undang-undang darurat atau reformasi konstitusional dapat digunakan untuk membungkam kritik atau memperpanjang masa jabatan seorang pemimpin.
Langkah-langkah ini tampak sah di permukaan, tetapi pada akhirnya merongrong prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti akuntabilitas, transparansi, dan rotasi kekuasaan.
Yang lebih mencemaskan, cara ini cenderung tidak menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat karena tidak ada kekerasan fisik yang terjadi. Akibatnya, publik sering kali terlambat menyadari bahwa demokrasi mereka telah terkikis hingga titik kritis.
Tanggung Jawab Bersama
Untuk melindungi demokrasi dari ancaman ini, kesadaran dan kewaspadaan masyarakat menjadi kunci. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga melibatkan nilai-nilai seperti penghormatan terhadap hukum, kebebasan berbicara, dan sistem check-and-balance yang sehat.
Seperti yang diungkapkan Levitsky dan Ziblat, ancaman terhadap demokrasi hari ini lebih sulit dikenali tetapi tetap sama destruktifnya. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih peka terhadap tanda-tanda penghancuran sistemik ini dan mempertahankan nilai-nilai demokrasi dari generasi ke generasi.
Menjaga demokrasi adalah tugas kita semua.