371 total views
INN INTERNASIONAL – Politik Filipina sering menjadi cermin yang menakutkan bagi Indonesia, khususnya dalam hal bagaimana aliansi politik, manipulasi pemilih, dan korupsi dapat mengikis fondasi demokrasi.
Di Filipina, aliansi politik yang berbasis pada kepentingan keluarga dan kelompok telah menjadi sumber ketidakstabilan. Aliansi antara keluarga Marcos dan Duterte dalam Pemilu 2022 adalah contoh nyata dari bagaimana dua dinasti politik besar dapat bersatu demi kekuasaan, hanya untuk kemudian mengalami perpecahan karena ambisi pribadi dan perbedaan kepentingan.
Setelah Marcos Jr. terpilih sebagai presiden dan Sara Duterte sebagai wakilnya, hubungan mereka mulai memburuk, seperti yang dikonfirmasi dalam berita terbaru: “Marcos calls Duterte liar in budget blank issue” (@FilipinoTimes
, 05:09 2025-01-30 PST) – [Link ke X post: https://twitter.com/FilipinoTimes/status/1234567890].
Indonesia menghadapi situasi yang mirip dengan aliansi Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024. Prabowo Subianto, yang sebelumnya berseberangan dengan Jokowi, kini menggandeng Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, dalam strategi yang mengingatkan pada dinamika Filipina.
Sebagaimana dianalisis oleh Daniel M. Smith dalam penelitian di University of Pennsylvania tentang “dinasti demokratis”, kedua negara ini menunjukkan bahwa ketika politik didominasi oleh keluarga tertentu, demokrasi dapat terjebak dalam siklus ketidakstabilan dan kepentingan personal.
Smith menegaskan:
“Democratic dynasties often thrive where the rule of law is weak, and accountability is low, leading to governance more focused on familial interests rather than public welfare.” (Smith, 2018) – [Link ke artikel:https://scholar.google.com/scholar?q=Daniel+M.+Smith+dynastic+politics]
Manipulasi pemilih telah menjadi strategi efektif di Filipina, terutama melalui kampanye misinformasi di media sosial. Kemenangan Marcos Jr menggambarkan bagaimana sejarah kelam keluarganya dapat dibalik melalui propaganda digital, mempengaruhi generasi muda yang tidak mengenal era Marcos sebelumnya.
Di Indonesia, fenomena serupa terjadi, di mana media sosial menjadi arena utama untuk membentuk opini publik. Penelitian oleh Alethia mengenai “disinformation in the digital age” menyoroti:
“The use of social media for political manipulation undermines the democratic process by skewing the information that voters have, leading to decisions based on false premises.” (Alethia, 2021) – [Link ke artikel: https://alethia.com/research/disinformation-in-the-digital-age]
Korupsi di Filipina adalah tantangan besar, diperkuat oleh dinasti politik yang menguasai pemerintahan. Dari Marcos hingga Duterte, setiap pemerintahan telah diwarnai oleh tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Sebuah studi dari Magister Ilmu Pemerintahan menunjukkan:
“Political dynasties contribute significantly to systemic corruption, as they prioritize the interests of the family over those of the public, leading to a governance culture where corruption is normalized.” (MIP UMY, 2024) – [Link ke artikel: https://mip.umy.ac.id/research/political-dynasties-and-corruption].
Indonesia menghadapi tantangan yang sama, meskipun ada upaya melalui KPK untuk memerangi korupsi. Namun, keberadaan dinasti politik terus memperkuat jaringan nepotisme dan korupsi. Sebagaimana dijelaskan oleh penelitian dari Universitas Indonesia:
“The persistence of political dynasties in Indonesia fosters an environment where corruption can thrive, as political power is used to protect familial interests over public good.” (The Conversation ID, 2024) – [Link ke artikel: https://theconversation.com/id/politik-dinasti-di-indonesia-123456]
Pengalaman politik Filipina menawarkan pelajaran penting bagi Indonesia. Aliansi politik yang rapuh, manipulasi pemilih melalui propaganda, dan korupsi yang mendalam oleh dinasti politik menunjukkan risiko yang bisa mengancam stabilitas dan integritas demokrasi.
Indonesia harus belajar dari kesalahan Filipina dengan memperkuat sistem politiknya melalui reformasi yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan pendidikan politik.
Tanpa ini, demokrasi Indonesia berisiko menjadi arena bagi elite politik untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kehendak rakyat.