HomeTrendingRupiah Terjun Bebas, Sinyal Merah Pemerintahan Prabowo-Gibran

Rupiah Terjun Bebas, Sinyal Merah Pemerintahan Prabowo-Gibran

Published on

spot_img

 279 total views

INN NEWS – Pada 28 Februari 2025, Indonesia menyaksikan rupiah terpuruk ke level terendah dalam lima tahun, mencapai 16.578 per dolar AS—terlemah sejak April 2020.

Bagi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang baru 130 hari berkuasa sejak 20 Oktober 2024, ini bukan sekadar krisis ekonomi, tetapi lampu merah menyala yang menyorot kegagalan kebijakan awal mereka.

Terlalu fokus pada konsolidasi politik, campur tangan Jokowi yang tak henti, bahkan bayangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Kabinet Merah Putih, telah membuat pemerintah ini kehilangan momentum menstabilkan ekonomi.

Rupiah yang terjun bebas adalah bukti bahwa prioritas politik telah mengorbankan rakyat—dan pemerintah harus bertanggung jawab.

Kesalahan Awal, Ekonomi Dikorbankan demi Konsolidasi Politik

Pemerintahan Prabowo-Gibran memulai langkahnya dengan blunder fatal: mengutamakan konsolidasi kekuasaan ketimbang fondasi ekonomi yang kokoh. Kabinet jumbo dengan 48 menteri dan 56 wakil menteri—terbesar dalam sejarah Indonesia—dibentuk untuk menampung koalisi gemuk yang mengantar mereka ke Istana.

Alih-alih menyusun strategi ekonomi yang tajam, pemerintah sibuk membagi jatah kekuasaan, dari Partai Gerindra hingga partai pendukung lama seperti Demokrat dan Golkar.

Hasilnya? Keputusan ekonomi krusial tertunda, dan ketika Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,75% pada Januari 2025, itu dilakukan tanpa dukungan fiskal yang solid dari pemerintah.

Kebijakan pemotongan suku bunga ini, yang seharusnya mendorong pertumbuhan, justru memicu arus keluar modal besar-besaran. Investor asing, tergiur imbal hasil lebih tinggi di AS, menarik dana mereka, meninggalkan rupiah dalam posisi rentan.

Ini bukan sekadar respons terhadap tekanan global seperti ancaman tarif Donald Trump atau perlambatan ekonomi Tiongkok—ini adalah bukti bahwa pemerintah gagal mengantisipasi risiko hanya demi menjaga narasi “pertumbuhan” yang dijanjikan Prabowo.

Mengapa koordinasi antara BI dan Kementerian Keuangan begitu lelet? Jawabannya ada pada prioritas awal: konsolidasi politik lebih didahulukan daripada stabilitas ekonomi.

Cawe-Cawe Jokowi dan Bayang-Bayang SBY

Jika ada yang memperparah situasi, itu adalah bayang-bayang dua mantan presiden yang terus menggantung di pundak pemerintahan ini. Jokowi, meski telah lengser, tak benar-benar lepas tangan.

 Pengangkatan Gibran sebagai wapres dan kehadiran loyalis Jokowi seperti Sri Mulyani (Menteri Keuangan) serta Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian) menunjukkan cawe-cawe yang berlebihan.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG), diluncurkan 6 Januari 2025 dengan anggaran Rp71 triliun, adalah warisan Jokowi yang dipaksakan tanpa perencanaan matang.

Dengan rupiah melemah, biaya impor untuk program ini membengkak, memperlebar defisit fiskal hingga Rp420 triliun—bukti bahwa pemerintah baru ini lebih sibuk melanjutkan agenda pendahulu ketimbang membaca situasi pasar.

Tak kalah signifikan, pengaruh SBY melalui Demokrat, yang kembali bergabung dalam koalisi, menambah kompleksitas. Penunjukkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri ATR/BPN dan kehadiran tokoh-tokoh lama Demokrat di kabinet mencerminkan upaya Prabowo membayar utang politik Pilpres 2024.

Namun, apa hasilnya bagi ekonomi? Nol besar. Konsolidasi ini hanya memperkuat basis kekuasaan, bukan kepercayaan investor. Rupiah yang anjlok adalah cerminan bahwa pasar tidak peduli pada permainan politik Istana—mereka menuntut kepastian dan kebijakan yang kredibel.

Dampak Nyata: Rakyat Jadi Korban

Rupiah yang lemah bukanlah statistik kosong. Ini adalah bencana bagi rakyat kecil. Harga barang impor—bahan bakar, obat-obatan, hingga beras—melambung, mengancam inflasi melampaui target BI 1,5%-3,5%.

Seorang pedagang kecil di pasar tradisional kini harus merogoh kocek lebih dalam untuk stok barang, sementara buruh pabrik tekstil menghadapi PHK massal—80.000 pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang 2024 akibat lesunya ekspor.

Korporasi dengan utang dolar, yang mencapai 45% dari total utang swasta, tercekik oleh beban pembayaran yang membengkak. Jika ini terus berlanjut, kita bisa menyaksikan ulangan Krisis 1998, dan pemerintah tidak punya alasan untuk lelet bertindak.

Janji Kosong di Tengah Krisis

Prabowo-Gibran berjanji membawa pertumbuhan 8% dan swasembada pangan, tetapi dengan rupiah dalam kondisi ini, semua itu hanya omong kosong. Program MBG, yang digadang-gadang sebagai wujud kepedulian sosial, kini jadi beban fiskal. Hilirisasi, yang dijanjikan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor, masih jalan di tempat—nickel dan batu bara tetap diekspor mentah, sementara Tiongkok mengurangi permintaan.

Sementara itu, deflasi lima bulan berturut-turut hingga September 2024 dan pelemahan Jakarta Composite Index hampir 20% dari puncaknya menunjukkan ekonomi yang terpuruk. Pemerintah terlalu sibuk dengan politik Istana hingga lupa bahwa rakyat menagih hasil, bukan janji.

Solusi atau Kehancuran

BI memang bergerak dengan cadangan devisa $149,9 miliar dan intervensi pasar, tetapi ini hanya tambal sulam. Pemerintah harus keluar dari bayang-bayang Jokowi dan SBY, menghentikan obsesi konsolidasi politik, dan fokus pada ekonomi. Naikkan suku bunga untuk menarik modal asing, percepat hilirisasi agar ekspor tak bergantung komoditas mentah, dan hentikan pemborosan anggaran pada proyek populis yang tak terukur dampaknya. Koordinasi fiskal-moneter harus jadi prioritas, bukan sekadar rapat seremonial antarmenteri.

Rupiah yang terjun bebas adalah sinyal merah bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran telah salah langkah sejak awal. Terlalu lama terpaku pada politik dan warisan pendahulu, mereka kini di ujung tanduk. Rakyat tidak butuh drama koalisi atau cawe-cawe mantan presiden—mereka butuh stabilitas dan harapan.

Jika Prabowo dan Gibran tak segera bertindak tegas, kepercayaan publik yang sempat tinggi pada 100 hari pertama (80,9% menurut Litbang Kompas) akan ambruk, dan sejarah akan mencatat mereka sebagai pemerintahan yang gagal mengelola krisis. Waktu habis—pilih selamatkan rupiah atau tenggelam bersama kegagalan.

Artikel Terbaru

UU TNI Tak Hanya Ancam Demokrasi tapi Rugikan Pembangunan Daerah

JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dengan tegas mengkritik Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang telah disahkan hari ini dalam Rapat Paripurna ke-15 masa persidangan tahun 2024-2025 DPR RI.

Rupiah Anjlok Mendekati Krisis 1998, Peringatan Dini untuk Pemerintah!

INN NEWS - Sepekan setelah perdagangan pasar modal sempat dihentikan akibat koreksi tajam, nilai tukar rupiah kembali terpuruk ke level terendah pasca-pandemi Covid-19.

UU TNI, Ketua MKMK: Cacat Legislasi, Baru Pernah Setertutup Ini

INN NEWS - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mengkritik keras proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru saja disahkan. 

Danantara Masih Tetap Direspon Negatif oleh Pasar

INN NEWS - Danantara, sebagai Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, mendapat respons negatif dari pasar karena beberapa faktor yang saling berkaitan, berdasarkan sentimen dan analisis yang berkembang hingga saat ini, 26 Maret 2025. 

artikel yang mirip

UU TNI Tak Hanya Ancam Demokrasi tapi Rugikan Pembangunan Daerah

JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dengan tegas mengkritik Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang telah disahkan hari ini dalam Rapat Paripurna ke-15 masa persidangan tahun 2024-2025 DPR RI.

Rupiah Anjlok Mendekati Krisis 1998, Peringatan Dini untuk Pemerintah!

INN NEWS - Sepekan setelah perdagangan pasar modal sempat dihentikan akibat koreksi tajam, nilai tukar rupiah kembali terpuruk ke level terendah pasca-pandemi Covid-19.

UU TNI, Ketua MKMK: Cacat Legislasi, Baru Pernah Setertutup Ini

INN NEWS - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mengkritik keras proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru saja disahkan.