224 total views
INN NEWS – Pada Februari 2025, Indonesia mencatatkan sebuah fenomena ekonomi yang cukup mengejutkan: deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa indeks harga konsumen (IHK) mengalami penurunan, sebuah peristiwa yang secara teori mengindikasikan turunnya harga barang dan jasa.
Namun, para ekonom justru menyebut deflasi ini sebagai “deflasi semu”. Artinya, bukan harga yang benar-benar merosot, melainkan daya beli masyarakat yang tampak lesu. Fenomena ini menjadi cermin bahwa ada gelap yang terselip di balik gempita ekonomi Indonesia.
Deflasi Semu, Bukan Harga Turun, Tapi Dompet Tertutup
Deflasi biasanya dianggap sebagai kabar baik bagi konsumen karena harga barang menjadi lebih murah.
Namun, dalam kasus ini, para ahli ekonomi menilai bahwa penurunan IHK lebih disebabkan oleh rendahnya permintaan, bukan karena pasokan yang melimpah atau efisiensi produksi.
Dengan kata lain, masyarakat Indonesia tampaknya enggan membuka dompet mereka. Ini adalah anomali yang sangat terasa, terutama jika kita melihat pola konsumsi di tahun-tahun sebelumnya.
Jelang Ramadhan, biasanya geliat ekonomi terasa kian nyata.
Masyarakat berbondong-bondong berbelanja kebutuhan pokok, pakaian baru, hingga persiapan Lebaran lainnya. Pusat perbelanjaan ramai, pasar tradisional bergeliat, dan transaksi daring melonjak. Momentum ini kerap mendorong inflasi ringan karena tingginya permintaan.
Namun, di awal 2025 ini, suasana tampak berbeda. Alih-alih berbelanja, masyarakat justru memilih menyimpan uang mereka. Apa yang sebenarnya terjadi?
Faktor Penyebab
Ada beberapa dugaan yang muncul di balik fenomena ini.
Pertama, ketidakpastian ekonomi global yang masih membayangi bisa jadi membuat masyarakat lebih berhati-hati. Ketegangan geopolitik, fluktuasi harga komoditas, dan perlambatan ekonomi di beberapa negara mitra dagang Indonesia mungkin memengaruhi sentimen konsumen.
Kedua, faktor domestik seperti kenaikan biaya hidup yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan juga bisa menjadi pemicu. Meski harga barang turun, daya beli masyarakat tampaknya tidak cukup kuat untuk memanfaatkan momen ini.
Selain itu, perubahan perilaku konsumsi pasca-pandemi juga patut diperhatikan. Banyak keluarga yang kini lebih memprioritaskan tabungan daripada pengeluaran konsumtif, sebuah pola yang mulai mengakar sejak krisis kesehatan global beberapa tahun lalu.
Ramadan yang biasanya penuh gempita dengan belanja besar-besaran kini berubah menjadi momen introspeksi finansial bagi sebagian besar masyarakat.
Dampak dan Tantangan ke Depan
Deflasi semu ini bukan tanpa konsekuensi. Jika permintaan terus melemah, pelaku usaha—terutama UMKM yang bergantung pada musim Ramadhan—bisa mengalami tekanan besar.
Penurunan omzet berisiko memicu pengurangan tenaga kerja atau bahkan gulung tikar bagi bisnis kecil. Di sisi lain, pemerintah perlu waspada terhadap sinyal stagnasi ekonomi yang lebih luas.
Jika masyarakat terus menahan belanja, roda ekonomi bisa melambat, dan target pertumbuhan ekonomi 2025 yang ambitius pun terancam meleset.
Namun, di tengah gelapnya situasi ini, ada secercah harapan. Pemerintah dan Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menggenjot stimulus ekonomi, baik melalui kebijakan moneter seperti penurunan suku bunga maupun fiskal seperti bantuan langsung tunai.
Momen Ramadan dan Lebaran yang masih berlangsung hingga beberapa minggu ke depan juga bisa menjadi peluang untuk membangkitkan kembali gairah konsumsi.