382 total views
INN NEWS – Di awal tahun 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia menghadapi beban yang cukup berat. Berdasarkan laporan resmi Kementerian Keuangan, hingga akhir Februari 2025, APBN mencatatkan defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau setara dengan 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka ini menunjukkan perubahan signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, di mana APBN justru mencatatkan surplus Rp 26 triliun atau 0,11 persen dari PDB pada Februari 2024.
Kondisi ini menjadi sinyal awal bahwa fiskal Indonesia tengah menghadapi tekanan di tengah dinamika ekonomi global dan domestik.
Pendapatan Turun, Belanja Tetap Tinggi Jadi Penyebab Defisit
Defisit APBN pada Februari 2025 dipicu oleh ketimpangan antara pendapatan negara yang menurun dan belanja negara yang tetap tinggi. Hingga akhir Februari 2025, pendapatan negara hanya mencapai Rp 316,9 triliun, atau sekitar 10,5 persen dari target APBN 2025.
Jika dibandingkan dengan Februari 2024 yang mencatatkan pendapatan Rp 400,4 triliun (14,29 persen dari target), terjadi penurunan drastis sebesar 20,85 persen. Penurunan ini terutama disebabkan oleh anjloknya penerimaan pajak, yang menjadi salah satu pilar utama pendapatan negara.
Faktor seperti pelemahan harga komoditas global dan perlambatan aktivitas ekonomi domestik diduga turut memengaruhi kinerja penerimaan pajak.
Di sisi lain, belanja negara hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 348,1 triliun atau 9,6 persen dari target APBN. Meskipun sedikit menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp 374,32 triliun atau 11,26 persen dari target), angka ini tetap lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang terkumpul.
Belanja tersebut mencakup belanja pemerintah pusat sebesar Rp 211,5 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 136,6 triliun. Tingginya belanja ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar, termasuk melalui program prioritas seperti bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur, meskipun pendapatan negara tengah tertekan.
Perbandingan dengan Tahun Sebelumnya
Kondisi defisit di awal 2025 ini kontras dengan tren positif yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada Februari 2024, APBN mencatatkan surplus Rp 26 triliun, didukung oleh pendapatan negara yang kuat dan pengendalian belanja yang efektif.
Bahkan pada 2022 dan 2023, dua bulan pertama tahun fiskal juga konsisten mencatatkan surplus, masing-masing Rp 19,7 triliun dan Rp 131,8 triliun. Defisit pada Februari 2025 menjadi yang pertama sejak periode pandemi pada 2020 dan 2021, ketika ekonomi global dan nasional menghadapi guncangan luar biasa.
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah tekanan fiskal saat ini merupakan dampak dari ketidakpastian ekonomi yang berkelanjutan atau adanya tantangan baru yang belum terantisipasi.
Tantangan dan Strategi ke Depan
Meskipun defisit Rp 31,2 triliun masih berada dalam batas aman dibandingkan target defisit APBN 2025 sebesar Rp 616,2 triliun (2,53 persen dari PDB), kondisi ini tetap menjadi perhatian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa tren defisit di awal tahun sesuai dengan pola tahunan, di mana penerimaan negara cenderung lemah pada Januari-Februari sebelum meningkat di akhir tahun. Namun, ia juga menekankan perlunya stabilisasi data dan efisiensi anggaran untuk menjaga kesehatan fiskal.
Pemerintah telah menyiapkan strategi pemulihan, termasuk optimalisasi penerimaan pajak melalui perbaikan administrasi dan perluasan basis pajak, serta pengendalian belanja yang lebih selektif tanpa mengorbankan program prioritas.
Realisasi pembiayaan anggaran yang telah mencapai Rp 220,1 triliun (35,7 persen dari target) juga menunjukkan pendekatan “front loading” untuk memastikan likuiditas tetap terjaga.
Beban APBN di awal 2025 memang cukup berat dengan defisit Rp 31,2 triliun, terutama jika dibandingkan dengan surplus Rp 26 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Tekanan dari penurunan pendapatan negara menjadi pemicu utama, sementara belanja yang tinggi mencerminkan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi.