304 total views
INN NEWS – Usulan untuk menetapkan mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memicu polemik di tengah masyarakat.
Wacana ini, yang digulirkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025, serta didukung oleh sejumlah pihak seperti Partai Golkar dan Ketua MPR Bambang Soesatyo, mendapat penolakan keras dari berbagai kalangan.
Aktivis hak asasi manusia, keluarga korban pelanggaran HAM, hingga politikus menyuarakan keberatan, dengan alasan rekam jejak kelam Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya di era Orde Baru.
Latar Belakang Usulan
Usulan ini diawali oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sejak 2010, berdasarkan kajian Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pahlawan Besar (TPPGPB) yang melibatkan sejarawan, akademisi, dan perwakilan instansi negara.
Pada 28 September 2024, Bambang Soesatyo, Ketua MPR dari Partai Golkar, secara terbuka mendukung usulan ini dalam acara silaturahmi dengan keluarga Soeharto, menyebut jasa Soeharto dalam pembangunan nasional sebagai alasan utama.
Golkar juga mengklaim bahwa usulan ini telah dibahas secara internal, termasuk dengan organisasi sayap partai seperti Satkar Ulama Indonesia.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa proses pengusulan dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga pusat, sesuai mekanisme yang berlaku.
Namun, usulan ini langsung memicu gelombang penolakan. Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), hingga Amnesty International Indonesia menilai Soeharto tidak layak menyandang gelar pahlawan nasional karena catatan pelanggaran HAM dan korupsi selama pemerintahannya.
Petisi daring yang menolak usulan ini bahkan telah mengumpulkan lebih dari 3.800 tanda tangan hingga April 2025.
Alasan Penolakan
Penolakan terhadap usulan ini didasarkan pada sejumlah catatan sejarah kelam di era Orde Baru. Berikut adalah beberapa alasan utama yang dikemukakan oleh berbagai pihak:
Pelanggaran HAM Berat
Rezim Soeharto dituding terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM, seperti pembunuhan massal pasca-Gestapu 1965, operasi penembakan misterius (Petrus) pada 1980-an, kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Timur, serta penculikan aktivis prodemokrasi menjelang kejatuhannya pada 1998.
Maria Catarina Sumarsih, pelopor Aksi Kamisan, mengingatkan bahwa sebelum Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, terjadi penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan politik yang menewaskan banyak korban.
Ia menegaskan, “Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto harus ditolak,” karena bertentangan dengan cita-cita Reformasi.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Soeharto juga dikaitkan dengan praktik KKN yang merajalela selama kepemimpinannya.
TAP MPR Nomor XI/1998, yang mengamanatkan pemberantasan KKN, secara eksplisit menyebut nama Soeharto sebagai salah satu pihak yang harus diadili.
Meskipun proses hukum terhadapnya terhenti karena alasan kesehatan, banyak pihak menilai bahwa catatan korupsi ini mencoreng integritasnya sebagai calon pahlawan nasional.
Pelecehan terhadap Reformasi 1998
Banyak pihak, termasuk aktivis dan penyintas HAM, memandang usulan ini sebagai upaya untuk menghapus sejarah kelam Orde Baru dan melecehkan perjuangan Reformasi. KontraS menyebut wacana ini sebagai “penghapusan sejarah” dan pengkhianatan terhadap korban pelanggaran HAM.
Sejumlah pengamat memberikan pandangan kritis terhadap wacana ini, menyoroti implikasi historis dan politiknya.
Purwanta, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma “Soeharto jelas tidak layak diberikan gelar pahlawan nasional, sebab selama 32 tahun memimpin, dia lebih banyak memberikan dampak negatif dari pada dampak positif. Atau bisa dikatakan, pembangunan yang dia lakukan selama itu, jasanya lebih banyak merusak dari pada manfaat yang diberikan kepada rakyat Indonesia.”
Purwanta menegaskan bahwa dampak destruktif dari kebijakan Soeharto, termasuk represi politik dan pelanggaran HAM, tidak dapat diabaikan meskipun ada capaian pembangunan.
Insan Praditya Anugrah, Pengamat Politik
“Pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto berbahaya bagi narasi bangsa ke depan, karena hal ini bisa menjadi pemakluman dan pemaafan bagi setiap pejabat dan mantan presiden yang terlibat KKN.”
Insan menyoroti risiko normalisasi korupsi dan ketidakadilan jika Soeharto diangkat sebagai pahlawan, yang dapat melemahkan nilai-nilai keadilan dalam sejarah bangsa.
Bonnie Triyana, Sejarawan “Merujuk pada Peraturan Presiden No. 33 Tahun 1964, pahlawan adalah mereka yang tidak ternoda oleh tindakan yang mencacatkan nilai perjuangannya. Soeharto tidak memenuhi syarat ini karena pernah diproses atas kasus korupsi yayasannya, yang membuat nilai perjuangannya cacat.”
Bonnie menegaskan bahwa dasar hukum pemberian gelar pahlawan tidak mendukung pencalonan Soeharto, terutama karena rekam jejaknya yang bermasalah.
Ari Junaedi, Pengamat Komunikasi Politik
“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan melecehkan perjuangan reformasi yang dikobarkan mahasiswa dan rakyat. Tidak ada kategori apapun yang dipenuhi oleh Soeharto untuk dijadikan pahlawan nasional.”
Ari menilai bahwa usulan ini mengabaikan pengorbanan para pejuang Reformasi dan dapat memicu trauma bagi penyintas kekerasan Orde Baru.
Respons Pihak Pendukung
Meskipun menghadapi penolakan, Partai Golkar tetap mendukung usulan ini dengan menonjolkan jasa Soeharto dalam pembangunan, seperti swasembada beras dan stabilitas ekonomi pada periode awal kepemimpinannya.
Hetifah Sjaifudian, Ketua DPP Golkar, menyatakan, “Kami akan mendukung apapun yang positif untuk kepentingan bangsa,” seraya menyerahkan proses penilaian kepada Kemensos dan MPR. Namun, Hetifah enggan berkomentar banyak soal penolakan masyarakat sipil, mengklaim belum menerima informasi terkait.
Proses yang Berlangsung
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa usulan Soeharto masih dalam tahap diskusi, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.
Tim penilai, yang terdiri dari akademisi, sejarawan, tokoh agama, dan masyarakat, akan memfinalisasi keputusan sebelum diserahkan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan di bawah Presiden.
Gus Ipul berjanji mendengarkan aspirasi masyarakat, termasuk suara penolakan, untuk memastikan proses yang transparan dan normatif.