235 total views
OPINI – Di banyak daerah dan negara dengan mayoritas penduduk Kristen, sebuah ironi mencolok tengah berlangsung: di tengah dominasi angka, komunitas Kristen sering kali menjadi kantong-kantong kemiskinan, ketertinggalan, dan kehilangan daya tawar dalam membentuk peradaban.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah iman Kristen bisa dan seharusnya dipisahkan dari kehidupan sosial-politik?
Jawaban yang jujur dan historis adalah: tidak. Kekristenan sejak awal adalah iman yang membumi—inkarnasional. Sebagaimana dikatakan Abraham Kuyper, “Tidak ada satu inci pun dari seluruh wilayah kehidupan kita tentang mana Kristus tidak berkata, ‘Milik-Ku.’” (Sphere Sovereignty, 1880). Dalam pandangan ini, iman kepada Kristus mencakup seluruh struktur kehidupan sosial, bukan sekadar ruang spiritual privat.
Sayangnya, pasca-Pencerahan dan semangat liberalisme sekuler, banyak teologi Kristen mulai mengadopsi dikotomi palsu antara gereja dan masyarakat, antara sakral dan sekuler. John Howard Yoder mengingatkan, “Pemisahan antara gereja dan politik bukan netralitas, tetapi domestikasi gereja.” (The Politics of Jesus, 1972). Dan itulah yang sedang kita alami.
Ketika gereja kehilangan suara kenabian dan otoritas moral, ia menjadi institusi yang bergantung pada dana hibah pemerintah atau CSR korporat untuk bertahan hidup.
Padahal, Dietrich Bonhoeffer telah mengingatkan bahwa “Gereja yang tidak bersedia mengangkat suara bagi korban ketidakadilan bukan lagi gereja Kristus, tetapi telah menjadi bagian dari sistem dunia.” (Letters and Papers from Prison, 1951).
Gereja seharusnya menjadi kekuatan pembentuk peradaban, bukan sekadar penerima belas kasihan dari sistem. Dalam sejarahnya, gereja menciptakan universitas (seperti Oxford dan Harvard), rumah sakit, koperasi, dan sistem etika keuangan yang membentuk dunia modern.
Namun hari ini, gereja di kantong-kantong Kristen sering menjadi agen distribusi bantuan, kehilangan mandat kulturalnya sebagai penggerak transformasi sosial.
Karenanya, dibutuhkan rekonstruksi kerangka iman Kristen yang holistik, bukan fragmentaris. Miroslav Volf dalam A Public Faith (2011) menegaskan: “Iman yang tidak memengaruhi ruang publik adalah iman yang tidak menyentuh realitas.” Dengan kata lain, jika Kekristenan ingin relevan, ia harus masuk dalam struktur politik, ekonomi, dan budaya—tanpa kehilangan integritas Injil.
Solusinya bukan dominasi politik gereja, tetapi kemitraan strategis antara gereja, negara, dan bisnis dalam membangun peradaban.
Gereja membawa etika dan spiritualitas, negara membawa struktur hukum dan stabilitas, bisnis membawa inovasi dan distribusi sumber daya. Ketiganya bisa menjadi mitra, bukan musuh.
Wilayah-wilayah Kristen saat ini membutuhkan kebangkitan visi kenabian dan visi kultural yang bersatu.
Tanpa itu, komunitas Kristen akan terus terjebak dalam kemiskinan struktural dan ketidakberdayaan sosial. Seperti diingatkan oleh Lesslie Newbigin: “Gereja adalah tanda, alat, dan awal dari Kerajaan Allah dalam dunia.” (The Gospel in a Pluralist Society, 1989).
Sudah waktunya gereja kembali mengambil posisi itu. Iman Kristen bukan hanya untuk gereja hari Minggu, tetapi untuk dunia dari Senin hingga Sabtu.
Oleh: Dr. Hanny Setiawan, M.B.A.