790 total views
INN NEWS – Militer memiliki peran krusial dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Namun, ketika militer menguasai ranah sipil, dampaknya sering kali merugikan demokrasi, kebebasan, dan keseimbangan kekuasaan.
Berikut uraian alasan mengapa militer seharusnya tidak menguasai pemerintahan sipil, dengan membandingkan situasi saat ini dengan masa Orde Baru di Indonesia (1966–1998).
Alasan Militer Tak Boleh Kuasai Sipil
• Prinsip Demokrasi dan Pemisahan Kekuasaan
Dalam sistem demokrasi, pemerintahan sipil berbasis kehendak rakyat melalui pemilu yang bebas dan adil.
Militer, sebagai institusi bersenjata, dirancang untuk melindungi negara, bukan mengatur kehidupan sipil.
Ketika militer mengambil alih kekuasaan sipil, prinsip checks and balances terganggu, karena militer cenderung memusatkan kekuasaan tanpa akuntabilitas yang memadai.
Contoh: Dalam sistem demokrasi modern, seperti di Indonesia pasca-Reformasi, TNI fokus pada tugas pertahanan, sementara pemerintahan sipil dijalankan oleh pejabat terpilih. Hal ini memastikan kebebasan sipil dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
• Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Militer memiliki struktur hierarkis dan disiplin tinggi, yang efektif untuk operasi pertahanan, tetapi tidak cocok untuk mengelola kompleksitas urusan sipil seperti ekonomi, pendidikan, atau kebijakan sosial.
Dominasi militer dapat menciptakan pemerintahan otoriter, di mana kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia (HAM) ditekan.
Contoh: Kekerasan terhadap aktivis, pembungkaman media, dan pelanggaran HAM sering terjadi di bawah rezim militer di berbagai negara.
• Fokus Militer Terganggu
Ketika militer terlibat dalam urusan sipil, fokus utama mereka pada pertahanan dan keamanan nasional menjadi terpecah.
Ini dapat melemahkan kemampuan militer dalam menjalankan tugas intinya, seperti menghadapi ancaman eksternal atau menjaga stabilitas wilayah.
Contoh: Dalam sistem demokrasi, TNI dan Polri memiliki peran yang terpisah, memungkinkan masing-masing institusi fokus pada tugasnya tanpa tumpang tindih.
• Krisis Legitimasi dan Ketidakstabilan Politik
Pemerintahan militer sering kali tidak memiliki legitimasi demokratis karena tidak dipilih melalui proses elektoral. Hal ini dapat memicu resistensi masyarakat, demonstrasi, atau bahkan konflik berkepanjangan.
Contoh: Rezim militer di beberapa negara Amerika Latin pada abad ke-20 sering kali menghadapi pemberontakan rakyat karena kurangnya legitimasi.
Perbandingan dengan Masa Orde Baru
Masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto adalah contoh nyata dominasi militer dalam pemerintahan sipil di Indonesia. Berikut adalah perbandingan antara kondisi saat itu dan prinsip pemerintahan sipil pasca-Reformasi:
• Dominasi Militer dalam Politik (Dwifungsi ABRI)
Pada masa Orde Baru, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI) memiliki dwifungsi, yaitu peran militer dan sosial-politik.
ABRI tidak hanya bertugas sebagai penjaga keamanan, tetapi juga mengisi jabatan-jabatan sipil, seperti gubernur, bupati, hingga anggota DPR melalui fraksi ABRI.
Sistem ini menciptakan pemerintahan otoriter, di mana kritik terhadap pemerintah sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Kebebasan pers dan hak untuk berserikat dibatasi, seperti dalam kasus pelarangan organisasi mahasiswa atau penutupan media.
• Pembungkaman Kebebasan Sipil
Orde Baru menggunakan aparatus militer untuk mengendalikan masyarakat, seperti melalui operasi intelijen dan penahanan tanpa proses hukum.
Contohnya adalah penumpasan aktivis pro-demokrasi dan kasus pelanggaran HAM berat, seperti Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997–1998.
Bandingkan dengan Sekarang: Pasca-Reformasi, TNI tidak lagi memiliki dwifungsi, dan kebebasan sipil seperti kebebasan berpendapat, pers, dan berserikat dijamin oleh UUD 1945 serta UU yang relevan.
Meski masih ada tantangan, seperti kasus kriminalisasi aktivis, kontrol sipil atas militer jauh lebih kuat.
• Ekonomi dan Korupsi
Selama Orde Baru, keterlibatan militer dalam bisnis dan politik menciptakan peluang korupsi dan nepotisme.
Banyak pejabat militer mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek negara atau bisnis swasta yang terkait dengan kekuasaan.
Bandingkan dengan Sekarang: Reformasi militer pasca-1998, termasuk pemisahan TNI dari bisnis dan politik, telah mengurangi peluang korupsi di kalangan militer. Pemerintahan sipil saat ini lebih akuntabel melalui mekanisme seperti KPK, meskipun tantangan korupsi masih ada.
• Stabilitas Politik vs. Kebebasan
Orde Baru sering dianggap membawa stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, stabilitas ini dibangun di atas represi dan pembungkaman. Ketika krisis ekonomi melanda pada 1997–1998, rezim militer tidak mampu menahan tekanan rakyat, yang berujung pada Reformasi 1998.
Bandingkan dengan Sekarang: Pemerintahan sipil pasca-Reformasi menghadapi tantangan seperti polarisasi politik, tetapi mekanisme demokrasi seperti pemilu dan kebebasan pers memungkinkan penyelesaian konflik secara lebih terbuka dan damai.


