155 total views
SOLO – Beberapa minggu ini warga Solo Raya (Solo-Sukoharjo), Jawa Tengah dihebohkan dan diresahkan dengan kelangkaan gas melon (gas elpiji 3 Kilogram).
Warga kesulitan mendapatkannya, bahkan jika ada sangat terbatas dan harus mengantri.
“Sedih karena gas ini kan penting. Kalau gak ada gas, rumah tangga kewalahan semua. Mau beli yang gak subsidi mahal banget, harga dua kali lipat,” ucap Apriani, ibu rumah tangga di Telukan, Sukoharjo yang diwawancarai INN, Rabu (4/9).
Hal yang sama dikeluhkan Angga P, seorang pekerja yang tinggal di Rumah Kos di Kawasan Kwarasan, Solo Baru, Sukoharjo kepada INN.
“Ini sudah berapa hari yang biasanya jual di dekat kosan udah gak ada. Syulit (sulit) bro. Katanya stok terbatas. Eh keluar gang dikit sama, juga langka (gas). Iki pie to (bagaimana ini). Di medsos juga rame banget orang mengeluh,” ucap Angga.
Tak hanya langka, harga gas melon ini juga naik harga.
“Harganya juga gak teratur i,” kata Bu Dewi, salah satu warga Danukusuman Solo.
Ia menambahkan, jika membeli tabung gas 3 kg dari pengecer harganya terpaut jauh dari harga di pangkalan yang dijual Rp 15.000.
“Harganya juga mahal, bisa sampai Rp 22 ribu,” ungkapnya.
Ini Biang Kerok Gas Melon Langka
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan (Diskopumdag) Sukoharjo Iwan Setiyono dalam keterangannya mengaku telah menerima laporan dari masyarakat terkait langkanya gas 3 Kilogram tersebut.
“Ada beberapa hal yang membuat orang saat ini sulit mendapat gas elpiji 3 Kilogram tersebut. Salah satunya karena kebijakan dari PT Pertamina, pada hari libur atau tanggal merah tidak ada penyaluran elpiji 3 kilogram dari penyalur agen ke sub penyaluran pangkalan,” terangnya.
Selain itu, sudah berlakunya aturan pembelian elpiji 3 kilogram dengan menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Di satu sisi ada sebagian masyarakat yang belum mau didaftar saat awal program ini dijalankan.
Selanjutnya, adanya kebijakan dari PT Pertamina tentang penjualan elpiji 3 kilogram sebesar 90 persen langsung ke konsumen dan 10 persen kepada pengecer sejak 1 Juli 2024 lalu.
“Aturan 60 persen konsumen langsung 40 persen pengecer berakibat banyak pengecer yang menjadi kekurangan pasokan dan berpengaruh pada masyarakat yang membeli di pengecer. Padahal kalau beli di pangkalan harus dengan KTP,” jelasnya.