365 total views
REFLEKSI – Dua peristiwa politik besar baru-baru ini mengguncang panggung dunia. Pada Agustus tahun ini, istana Perdana Menteri Sheikh Hasina di Dhaka, Bangladesh, diserbu rakyatnya yang marah.
“Sheikh Hasina menghadapi protes besar-besaran di Bangladesh yang berubah menjadi kerusuhan mematikan, mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahannya” (CNBC Indonesia)
Kemarin, insiden serupa terjadi di Damaskus, Suriah, ketika massa mengobrak-abrik istana Presiden Bashar Assad. “Bashar al-Assad terjebak dalam perang saudara yang berkepanjangan, di mana strategi represifnya memicu kecaman internasional dan merusak legitimasinya di mata dunia” (Tempo)
Kedua pemimpin tersebut, setelah bertahun-tahun berkuasa, melarikan diri dari negerinya masing-masing. Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan dinamika kekuasaan di wilayah masing-masing tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang sifat politik modern, yang relevan dengan konteks global, termasuk Indonesia.
Ketidakpuasan Rakyat: Pola Lama dalam Konteks Baru
Kejatuhan Hasina dan Assad mencerminkan pola klasik dalam sejarah politik: kekuasaan yang dijalankan tanpa akuntabilitas pada akhirnya akan tumbang. John Locke, filsuf politik abad ke-17, pernah menegaskan bahwa “legitimasi kekuasaan bersumber dari persetujuan rakyat.” Ketika rakyat merasa teralienasi, kehilangan kepercayaan, atau ditindas, legitimasi tersebut hancur.
Indonesia, sebagai negara demokrasi yang tengah menghadapi kemunduran demokrasi, memperlihatkan gejala serupa. Dalam beberapa tahun terakhir, para pengamat politik telah mengkritik meningkatnya sentralisasi kekuasaan dan melemahnya institusi demokrasi.
Misalnya, laporan Freedom House 2024 menempatkan Indonesia dalam kategori “partly free,” dengan catatan penurunan kebebasan sipil dan independensi lembaga-lembaga negara.
Dalam konteks ini, gagasan Hannah Arendt menjadi relevan: “Kekuasaan sejati tidak pernah berasal dari kekerasan; kekuasaan yang bertumpu pada kekerasan bersifat sementara dan rapuh.” Baik di Bangladesh, Suriah, maupun Indonesia, pola kekuasaan otoriter menunjukkan kelemahannya dalam menghadapi tekanan sosial jangka panjang.
Pelajaran dari Masa Silam: Demokrasi atau Otoritarianisme?
Kejatuhan Hasina dan Assad mengingatkan kita pada kejatuhan rezim-rezim otoriter lain di dunia, mulai dari Shah Iran hingga Hosni Mubarak di Mesir.
Namun, transisi kekuasaan di banyak negara ini sering kali tidak mulus, meninggalkan kekacauan politik dan sosial. Dalam hal ini, Samuel P. Huntington, dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, menyoroti bahwa demokrasi bukan sekadar perubahan rezim, tetapi proses institusionalisasi nilai-nilai politik yang memerlukan waktu dan konsensus.
Di Indonesia, kemunduran demokrasi dapat menjadi peringatan serius. Jika ketidakpuasan publik terus meningkat tanpa ruang untuk dialog politik, potensi instabilitas menjadi nyata.
Sebagaimana dikatakan Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, “Demokrasi tanpa liberalisme politik cenderung berubah menjadi mayoritarianisme otoriter, di mana pemilu hanya menjadi formalitas tanpa penguatan hak asasi manusia dan pluralisme.”
Masa Depan Indonesia: Apa yang Harus Dipelajari?
Indonesia, meskipun tidak berada dalam situasi krisis seperti Bangladesh atau Suriah, menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Konsolidasi kekuasaan oleh pemerintah pusat, pelemahan oposisi politik, dan meningkatnya penggunaan aparat keamanan untuk menekan kritik adalah sinyal bahwa demokrasi sedang terancam.
Hal ini tidak hanya memicu ketidakpuasan publik, tetapi juga melemahkan legitimasi pemerintah dalam jangka panjang.
Dalam konteks ini, pemikiran Amartya Sen tentang “kebebasan sebagai pembangunan” (freedom as development) relevan. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga memastikan kebebasan ekonomi, sosial, dan politik yang memungkinkan partisipasi rakyat. Di Indonesia, pemerintah harus menyadari bahwa membangun ekonomi yang kuat tidak cukup jika tidak diimbangi dengan penghormatan terhadap kebebasan dasar.
Hikmah dan Refleksi
Kisah kejatuhan Sheikh Hasina dan Bashar Assad memberikan pelajaran penting bagi para pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Kekuasaan bukanlah hak pribadi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan akuntabilitas dan keadilan.
Bagi masyarakat, kisah ini mengajarkan pentingnya menjaga semangat demokrasi melalui cara-cara damai dan inklusif.
Sebagaimana diingatkan oleh Nelson Mandela, “Sebuah negara tidak dinilai dari cara memperlakukan warganya yang berada di puncak, tetapi dari cara memperlakukan mereka yang paling lemah.” Keberlanjutan politik Indonesia bergantung pada keberanian pemimpinnya untuk mengutamakan dialog dan keadilan sosial, bukan represi dan kekuasaan absolut.
Sejarah terus memberikan pelajaran bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat adalah ilusi. Indonesia, yang memiliki fondasi demokrasi yang kuat, masih memiliki peluang untuk menghindari nasib serupa dengan Bangladesh atau Suriah. Namun, hal ini membutuhkan komitmen semua pihak untuk menjaga nilai-nilai demokrasi, menghormati hak asasi manusia, dan memastikan bahwa kekuasaan selalu berpihak pada kepentingan rakyat, bukan elite semata.
Dr. Hanny Setiawan, M.B.A.