594 total views
JAKARTA – Dalam dunia seni, karya tidak hanya sebagai bentuk ekspresi tetapi juga sebagai cermin keadaan sosial dan politik zaman.
Kejadian pembatalan pameran lukisan tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional ini menjadi bukti nyata dari krisis kebebasan berekspresi di Indonesia. Pameran yang bertajuk “Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” yang seharusnya menjadi sarana dialog antara seni dan masyarakat, malah menjadi simbol dari pembungkaman.
Pameran ini dikabarkan batal dibuka, dengan pintu ruang pameran dikunci dan lampu dimatikan, menandai sebuah momen yang bisa disebut sebagai “pembredelan” dalam sejarah seni rupa Indonesia. Yos Suprapto, seniman yang telah lama dikenal dengan karya-karya kritik sosialnya, menghadapi penolakan dari kurator Galeri Nasional, Suwarno Wisetrotomo, untuk menurunkan lima dari 30 lukisannya.
Penolakan ini berdasarkan pada kekhawatiran bahwa lukisan-lukisan tersebut mungkin dianggap terlalu subversif atau kontroversial oleh sebagian masyarakat atau pihak berwenang.
Lima lukisan yang diminta untuk diturunkan, menurut Yos, berkaitan dengan sosok yang pernah sangat populer di masyarakat Indonesia, yang dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap figur politik atau kebijakan pemerintah yang masih hangat dalam ingatan kolektif.
Reaksi Yos yang tegas untuk membawa pulang seluruh lukisannya jika permintaan tersebut dipenuhi, menunjukkan integritas seniman terhadap karyanya sebagai ekspresi yang utuh dan tidak dikompromikan.
Komentar Eros Djarot yang menyebut bahwa ini adalah “ekspresi kurator yang takut secara berlebihan” mencerminkan suasana ketakutan dan cemas yang mungkin meliputi dunia seni di era kepemimpinan baru.
Pembatalan ini bukan hanya kehilangan bagi para penggemar karya Yos tapi juga untuk masyarakat yang seharusnya mendapatkan dialog kritis melalui seni.
Oscar Motulloh, seorang fotografer profesional dan pengamat seni, menyebutnya sebagai “pembredelan pameran seni rupa pertama di era Prabowo Subianto.” Pernyataan ini menyoroti kekhawatiran akan adanya era baru sensor dan kontrol atas kebebasan berekspresi yang mungkin kembali mewarnai budaya dan politik Indonesia.
Krisis ini mengungkap pola yang mungkin akan menjadi lebih umum: pembungkaman terhadap karya seni yang berani mengkritik atau menggambarkan kenyataan sosial dan politik yang tidak nyaman.
Ini adalah peringatan tentang pentingnya menjaga ruang publik untuk diskusi dan ekspresi yang bebas, terutama dalam bentuk seni yang telah lama menjadi salah satu aspek penting dari demokrasi.
Masyarakat Indonesia, yang selalu beragam dalam pandangan dan ekspresi, seharusnya tidak ditakuti oleh karya yang membangkitkan diskusi dan introspeksi.
Seni seperti karya Yos Suprapto seharusnya menjadi peringatan bahwa demokrasi kita masih jauh dari sempurna, dan bahwa seniman memainkan peran krusial dalam mengingatkan kita akan kebutuhan akan reformasi dan keadilan.
Pembatalan pameran ini juga membuka diskusi lebih luas tentang peran institusi seni seperti Galeri Nasional dalam menjaga atau justru menghambat kebebasan ekspresi. Apakah mereka akan menjadi tempat di mana seni bisa berkembang tanpa batas atau justru menjadi alat untuk membungkam suara kritis?
Ini adalah saat yang tepat bagi para pembuat kebijakan, pengelola seni, dan masyarakat umum untuk merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi. Pembatalan pameran ini bukan hanya tentang satu seniman atau galeri, tetapi tentang masa depan ruang ekspresi di Indonesia.
Kita semua harus bertanya, apakah kita ingin kembali ke era di mana seni diatur oleh ketakutan dan sensor, atau kita memilih untuk memperkuat kebebasan yang merupakan hak dasar setiap individu?