459 total views
JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tekanan besar yang menjadi kontroversi dan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat akibat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 tekanan besar untuk menanggapi isu yang dianggap akan memberatkan ekonomi rakyat.
Prabowo sendiri memiliki opsi untuk mengajukan pembatalan kenaikan tarif PPN ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Apalagi DPR sendiri didominasi oleh parpol pendukung Prabowo yang menamakan koalisinya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Diketahui pemerintah bisa mengusulkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) penyesuaian jika ada perubahan kebijakan fiskal.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (26/12/2024).
menyarankan agar Presiden Prabowo mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda kenaikan tarif ini.
Menurut Esther langkah ini legal dan realistis mengingat kondisi ekonomi saat ini yang belum pulih.
“Ini soal kemauan politik. Penerbitan Perppu memungkinkan pemerintah menunda kebijakan tersebut karena daya beli masyarakat belum pulih. Jika dipaksakan, kenaikan PPN justru bisa memperlambat pemulihan ekonomi,” jelas Esther.
Esther menekankan bahwa kenaikan tarif PPN sebaiknya dilakukan saat daya beli masyarakat sudah stabil dan ekonomi nasional menunjukkan pemulihan yang signifikan. Jika tidak, kebijakan ini berisiko mengganggu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
“Presiden punya peran besar untuk memutuskan apakah kenaikan ini perlu ditunda. Saya kira, jika ekonomi belum benar-benar pulih, kebijakan ini sebaiknya ditunda hingga situasi lebih kondusif,” tambahnya.
Esther juga mengingatkan pemerintah untuk melihat pengalaman Malaysia. Negara itu pernah menaikkan tarif PPN, tetapi kebijakan tersebut berdampak buruk pada perekonomian, termasuk penurunan volume ekspor.
Akhirnya, Malaysia memutuskan untuk menurunkan kembali tarif PPN guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kasus Malaysia menjadi pelajaran penting. Kenaikan tarif pajak tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi bisa berakibat fatal. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil langkah ini,” ujar Esther.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN dalam rentang 5% hingga 15%.
Setelah RAPBN disetujui DPR menjadi UU APBN 2025, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengesahkan tarif tersebut. Namun, jika Presiden Prabowo memutuskan untuk menunda kenaikan tarif ini, mekanisme penyesuaian dapat dilakukan melalui revisi UU APBN dengan persetujuan DPR.
Dampak Kenaikan Tarif PPN
Peningkatan tarif PPN dikhawatirkan akan menambah tekanan terhadap masyarakat yang daya belinya masih rendah.
Selain itu, kenaikan ini juga dapat memengaruhi sektor bisnis, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Sebagai pemimpin, Presiden Prabowo memiliki tanggung jawab besar untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan kondisi ekonomi rakyat.
Langkah bijak dan cepat diperlukan untuk memastikan kebijakan ini tidak menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan segala opsi yang tersedia, bola panas kenaikan tarif PPN kini berada di tangan Presiden. Keputusan yang diambil akan menentukan arah kebijakan ekonomi nasional pada tahun-tahun mendatang.