351 total views
OPINI – Perlawanan terhadap korupsi dalam pemerintahan telah menjadi tantangan fundamental sepanjang sejarah peradaban manusia.
Sebagaimana diargumentasikan oleh Hannah Arendt dalam karyanya “The Origins of Totalitarianism” (1951), “Korupsi sistemik dalam sistem politik bukan sekadar anomali administratif, melainkan manifestasi dari degradasi moral yang mengancam fondasi demokrasi itu sendiri.”
Pandangan ini meresonasi dengan pemikiran Leo Tolstoy yang menekankan urgensi persatuan di antara individu-individu berintegritas sebagai basis perlawanan terhadap kekuatan koruptif.
Dalam tradisi filosofis Yunani, Plato mengeksplorasi konsep keadilan melalui karyanya Politeia dengan artikulasi yang sophisticated. Keadilan, menurut perspektifnya, merupakan kondisi di mana setiap elemen masyarakat menjalankan fungsinya tanpa interferensi terhadap domain pihak lain.
Plato memberikan peringatan eksplisit tentang bahaya sistem pemerintahan yang didominasi oleh tirani atau kelompok korup yang mensubordinasikan kepentingan publik di bawah agenda personal. Aristoteles kemudian memperkaya diskursus ini dengan menekankan bahwa pemerintahan yang ideal harus berorientasi pada bonum commune.
Tradisi filosofis China, melalui ajaran Konfusius, memberikan kontribusi signifikan dengan konsep ren (kebajikan) sebagai fondasi pemerintahan. Pierre Bourdieu, dalam “The Logic of Practice” (1990), menyoroti fenomena ini dengan menyatakan bahwa “Praktik korupsi bertahan karena adanya habitus yang memungkinkan normalisasi perilaku menyimpang dalam struktur kekuasaan.” Konfusius meyakini bahwa kepemimpinan yang berintegritas akan mengkatalisasi harmoni sosial. Ia menggarisbawahi signifikansi akuntabilitas publik, di mana masyarakat memiliki legitimasi untuk mengkritisi pemimpin yang abai terhadap tanggung jawabnya.
Era modern menghadirkan kompleksitas baru dalam fenomena korupsi melalui jejaring global yang semakin sophisticated. Teknologi dan media emergen sebagai instrumen vital dalam memfasilitasi unifikasi gerakan antikorupsi, manifestasinya terlihat dalam mekanisme whistleblowing dan mobilisasi opini publik melalui media sosial.
Namun, infrastruktur teknologis semata tidak sufficient tanpa adanya kohesi emosional dan purposif dalam gerakan antikorupsi.
Vox populi menjadi instrumen fundamental dalam kontestasi melawan korupsi sistemik. Dalam sistem demokratis, partisipasi publik termanifestasi melalui hak berbicara, memilih, dan mempengaruhi kebijakan.
Efektivitas suara publik sangat bergantung pada kesatuan visi dan resistensi terhadap fragmentasi yang diinduksi oleh propaganda atau tekanan eksternal. Evidensi historis, dari revolusi Yunani kuno hingga Arab Spring, mengonfirmasi bahwa transformasi sistemik hanya terjadi ketika terdapat konvergensi aspirasi publik.
Perjuangan melawan korupsi pemerintahan merupakan sintesis antara pembelajaran historis dan adaptasi teknologis kontemporer, yang terus berevolusi menuju realisasi keadilan substantif.
Kesuksesan gerakan ini bergantung pada harmonisasi antara edukasi politik, organisasi sosial, dan internalisasi nilai-nilai etis universal. Dalam konteks ini, peran masyarakat sipil menjadi semakin krusial sebagai katalis perubahan dan guardian integritas publik.