261 total views
INN NEWS – Keputusan pemerintahan Prabowo Subianto untuk memangkas anggaran secara ekstrem di berbagai kementerian, sementara tetap mempertahankan alokasi dana untuk institusi-institusi tertentu, mengungkap arah prioritas sebenarnya.
Jika kita menganalisis daftar kementerian dan lembaga yang tidak terkena pemotongan anggaran, terlihat jelas bahwa fokus utama lebih mengarah pada konsolidasi kekuasaan di tingkat elite politik, terutama dalam sektor hukum, partai politik, dan keuangan.
Konsolidasi Elite di Sektor Hukum dan Politik
Dari daftar yang tetap menerima anggaran penuh, beberapa institusi kunci yang berperan dalam mengontrol hukum dan politik tetap mendapatkan prioritas, antara lain:
1. Polri (Rp 126,64 triliun) – Memastikan stabilitas dalam negeri dan kontrol atas aparat keamanan.
2. Kejaksaan Agung (Rp 24,28 triliun) & Mahkamah Agung (Rp 12,68 triliun) – Memperkuat cengkeraman hukum yang dapat digunakan sebagai alat politik.
3. DPR RI (Rp 6,69 triliun) & MPR (Rp 969,2 miliar) – Menjaga hubungan baik dengan legislatif untuk memastikan kebijakan dapat berjalan tanpa hambatan politik berarti.
4. Badan Intelijen Negara (Rp 7,05 triliun) – Memastikan kontrol informasi dan pengawasan terhadap dinamika politik nasional.
Dukungan penuh terhadap institusi-institusi ini menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo lebih mengutamakan stabilitas politik dan kontrol atas oposisi daripada pembangunan kesejahteraan rakyat secara merata.
Mengontrol Keuangan dengan Lembaga Kunci
Selain hukum dan politik, sektor keuangan juga menjadi fokus utama.
Bendahara Umum Negara (Rp 1.932,54 triliun) tetap mendapatkan anggaran penuh, menandakan betapa strategisnya peran pengelolaan fiskal dalam pemerintahan Prabowo.
BPK RI (Rp 6,15 triliun) & BPKP (Rp 2,47 triliun) memperkuat audit keuangan negara, yang bisa diarahkan untuk mendukung kebijakan tertentu.
PPATK (Rp 354,6 miliar) tetap didanai, menunjukkan pentingnya kontrol terhadap aliran keuangan, terutama terkait transaksi yang bisa berpotensi mengancam stabilitas elite.
Badan Gizi Nasional: Bansos yang Menegaskan Relasi Elite-Masyarakat
Salah satu lembaga baru yang mendapat anggaran besar adalah Badan Gizi Nasional (Rp 71 triliun). Ini menarik karena lembaga ini bertanggung jawab atas program Makan Bergizi Gratis, yang menjadi salah satu janji kampanye Prabowo.
Namun, alih-alih menjadi kebijakan kesejahteraan yang berbasis pemberdayaan, program ini justru mengukuhkan hubungan paternalistik antara negara dan rakyatnya.
Pemerintah melihat rakyat sebagai kelompok tidak mampu yang perlu diberikan bantuan sosial alih-alih memberdayakan mereka secara ekonomi.
Jika pendekatan ini terus dipertahankan, akan tercipta ketergantungan masyarakat terhadap negara, yang dalam jangka panjang dapat melemahkan daya kritis dan partisipasi politik rakyat.
Kemerosotan Demokrasi: Dari Partisipatif ke Otoritarianisme Terselubung
Pola ini mengindikasikan pergeseran demokrasi dari sistem yang seharusnya partisipatif menjadi lebih elitis dan tersentralisasi.
Demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan antara rakyat dan elite, namun alokasi anggaran ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kontrol ketimbang pemberdayaan.
Jika tren ini terus berlanjut, kita akan melihat semakin sempitnya ruang oposisi, melemahnya kebebasan sipil, dan meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap negara dalam aspek ekonomi dan sosial. Ini berpotensi mengarah pada model pemerintahan yang lebih otoriter, meskipun tetap dalam balutan demokrasi prosedural.
Menuju Demokrasi yang Terancam
Anggaran yang tidak dipangkas menunjukkan prioritas pemerintahan Prabowo yang sebenarnya: mengamankan posisi elite politik dan hukum, mengontrol keuangan, serta membangun ketergantungan rakyat terhadap bantuan negara. Ini bukanlah arah yang sehat bagi demokrasi Indonesia.
Jika Indonesia ingin tetap menjadi negara demokratis yang kuat, pemerintah harus lebih mendorong pemberdayaan masyarakat daripada hanya memberikan bantuan sosial, serta menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dan kebebasan sipil.
Jika tidak, kita sedang menuju ke arah kemunduran demokrasi yang semakin dalam.
Dr. Hanny Setiawan, M.B.A.