325 total views
INN NEWS – Sejak Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2024, dunia seni di tanah air menghadapi tantangan baru.
Dalam kurun waktu empat bulan pertama kepemimpinannya, sejumlah insiden yang dianggap sebagai upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dalam seni telah mencuat ke permukaan.
Kasus-kasus ini melibatkan berbagai bentuk seni, mulai dari seni rupa, perfilman, hingga musik, dan memicu kekhawatiran publik terkait ruang kreativitas di era pemerintahan baru ini.
Berikut adalah deretan kasus yang menjadi sorotan.
1. Pembatalan Pameran Seni Rupa Yos Suprapto
Salah satu kasus yang paling menarik perhatian adalah pembatalan pameran tunggal seniman lukis asal Yogyakarta, Yos Suprapto, bertajuk Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan.
Pameran ini awalnya dijadwalkan berlangsung dari 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Namun, sehari sebelum pembukaan, Yos mengaku dilarang memasuki Gedung A Galeri Nasional, tempat 30 karya lukisnya telah dipajang. Ia menyatakan kekecewaannya, “Saya senimannya saja tidak bisa masuk ke dalam ruang di mana saya menaruh karya-karya saya.”
Pembatalan ini diduga berkaitan dengan isi karya Yos yang mengandung kritik terhadap kebijakan pemerintah sebelumnya, khususnya era Presiden Joko Widodo.
Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, bahkan mengundurkan diri dengan alasan beberapa karya dianggap terlalu vulgar dan kurang metaforis. Insiden ini memicu spekulasi bahwa tekanan dari pihak tertentu, yang mungkin tidak ingin kritik masa lalu tersorot di era baru, menjadi penyebab utama pembatalan.
2. Penghentian Pemutaran Film Eksil
Kasus lain yang mencuri perhatian terjadi pada film dokumenter Eksil. Film ini dijadwalkan tayang dalam acara nonton bareng di CGV Samarinda pada 22 Februari 2025.
Namun, sehari sebelum acara, pihak CGV membatalkan pemutaran secara mendadak dengan alasan belum memperoleh izin keramaian dari Polresta Samarinda. Padahal, 146 tiket telah terjual, dan penyelenggara sudah membayar uang muka untuk menyewa studio.
Wawan, koordinator acara, menilai pembatalan ini janggal karena Eksil sebelumnya telah diputar di berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bali tanpa hambatan, bahkan meraih penghargaan internasional.
Ia menduga ada upaya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, terutama karena film ini mengangkat kisah pengasingan aktivis politik pasca-1965—tema yang sensitif di bawah narasi resmi pemerintahan saat ini.
3. Tekanan pada Komunitas Musik Punk Sukatani
Di ranah musik, komunitas punk Sukatani di Bandung juga merasakan tekanan. Pada Februari 2025, aktivis menggelar demonstrasi mendukung band punk lokal ini setelah mereka diduga mendapat intimidasi dari aparat setempat. Aksi tersebut berlangsung di depan Mapolrestabes Bandung pada 20 Februari 2025.
Komunitas ini dikenal vokal dalam menyuarakan kritik sosial melalui lirik dan penampilan mereka, yang sering kali dianggap mengganggu ketertiban oleh pihak berwenang.
Meski detail intimidasi tidak sepenuhnya terungkap, kejadian ini menambah daftar panjang kekhawatiran bahwa seni yang bersifat subversif atau kritis terhadap kekuasaan mulai ditekan di era kepemimpinan Prabowo.
Kontroversi dan Tanggapan Publik
Ketiga kasus ini hanyalah sebagian dari pola yang mulai terdeteksi di awal pemerintahan Prabowo Subianto. Kebebasan berekspresi, yang menjadi pilar penting dalam dunia seni, tampaknya menghadapi ujian baru.
Banyak kalangan menilai bahwa pemerintah saat ini berupaya menciptakan narasi tunggal yang selaras dengan visi kepemimpinan, sehingga karya seni yang dianggap “mengganggu” menjadi target pembungkaman.
Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa insiden-insiden ini mungkin lebih mencerminkan kebingungan birokrasi atau sensitivitas lokal ketimbang kebijakan langsung dari pusat kekuasaan. Namun, minimnya respons resmi dari pemerintah terkait kasus-kasus ini hanya memperkuat persepsi bahwa ruang ekspresi seni tengah menyempit.
Era kepemimpinan Prabowo Subianto yang baru berjalan beberapa bulan telah menorehkan catatan kelam bagi dunia seni Indonesia.
Dari pembatalan pameran seni rupa, penghentian pemutaran film, hingga tekanan pada komunitas musik, kebebasan berekspresi tampaknya menjadi taruhan.
Pertanyaan besar yang mengemuka adalah: apakah ini hanya gejala awal, ataukah akan menjadi pola sistematis ke depannya? Yang jelas, dunia seni Indonesia kini berada di persimpangan—antara bertahan melawan pembungkaman atau menyesuaikan diri dengan iklim baru yang penuh tantangan.