380 total views
INN NEWS – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa tekstil terbesar di Indonesia, resmi menutup operasinya secara permanen mulai 1 Maret 2025.
Penutupan ini menjadi klimaks dari krisis panjang yang melanda perusahaan tersebut, dengan lebih dari 10 ribu buruh dilaporkan telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kabar ini menambah gelombang kekhawatiran di sektor manufaktur Indonesia, terutama di kalangan pekerja padat karya yang kini menghadapi masa depan tak menentu.
Perjalanan Panjang Menuju Kebangkrutan
Sritex, yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, pernah menjadi kebanggaan industri tekstil nasional. Perusahaan ini dikenal sebagai pemasok kain dan pakaian untuk merek global ternama seperti H&M, Uniqlo, dan Zara, serta memproduksi seragam militer untuk NATO.
Namun, pandemi COVID-19 pada 2020 menjadi titik awal masalah keuangan yang kian memburuk. Penurunan permintaan global, persaingan ketat dari impor murah, dan utang yang menumpuk menjadi beban berat yang tak teratasi.
Berdasarkan laporan keuangan, Sritex mencatatkan utang mencapai Rp25 triliun, dengan rugi bersih Rp6 triliun pada 2022 dan Rp2,8 triliun pada 2023. Upaya restrukturisasi utang yang dimulai pada 2021 gagal membuahkan hasil.
Pengadilan Niaga Semarang akhirnya menyatakan Sritex bangkrut pada Oktober 2024, keputusan yang kemudian dikuatkan Mahkamah Agung pada Desember 2024 setelah menolak banding perusahaan. Sejak itu, operasional Sritex terus menyusut hingga akhirnya berhenti total.
Dampak bagi Ribuan Buruh
Penutupan Sritex berdampak langsung pada ribuan pekerja. Menurut data dari Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Sukoharjo, hingga Februari 2025, sebanyak 6.660 karyawan resmi terdaftar, namun angka PHK keseluruhan diperkirakan mencapai lebih dari 10 ribu jika memperhitungkan pekerja tidak tetap dan efek rantai pada industri pendukung.
Para buruh ini kini menghadapi ketidakpastian ekonomi, terutama menjelang bulan Ramadhan yang biasanya membutuhkan dana tambahan.
Pemerintah telah berjanji untuk memastikan hak-hak pekerja, seperti jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), asuransi hari tua, dan pesangon, dapat dipenuhi melalui BPJS Ketenagakerjaan. Namun, proses administrasi yang lambat dan ketidakpastian pembayaran gaji terakhir masih menjadi keluhan utama di kalangan pekerja.
Jejak “All In” Dukung Prabowo-Gibran
Menariknya, penutupan Sritex juga mengingatkan publik pada peristiwa politik di masa lalu. Pada Pemilu 2024, Sritex diketahui “all in” mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Dukungan ini terlihat dari mobilisasi karyawan dalam kampanye hingga pernyataan terbuka manajemen perusahaan. Banyak yang berspekulasi bahwa dukungan tersebut diharapkan membawa angin segar berupa bantuan pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.
Namun, harapan itu tampaknya pupus. Meski Presiden Prabowo, yang dilantik pada Oktober 2024, sempat memerintahkan kementerian terkait untuk mencari solusi agar Sritex tetap beroperasi tanpa PHK massal, upaya tersebut terbentur realitas hukum dan finansial.
Keputusan Mahkamah Agung menjadi pukulan telak yang sulit dibendung, bahkan oleh kekuatan politik sekalipun.
Tantangan ke Depan
Penutupan Sritex bukan hanya kehilangan bagi para buruh, tetapi juga cerminan krisis yang melanda industri tekstil Indonesia.
Banjirnya impor tekstil murah dari China, kebijakan impor yang dianggap merugikan industri lokal seperti Permendag No. 8/2024, serta lemahnya daya saing di pasar global menjadi faktor yang memperparah situasi. Dalam setahun terakhir, puluhan pabrik tekstil di Indonesia juga dilaporkan tutup, dengan total PHK mencapai lebih dari 50 ribu pekerja.
Bagi para buruh Sritex, masa depan kini tampak gelap.
Banyak yang berharap pemerintah segera memberikan solusi konkret, seperti pelatihan kerja atau pembukaan lapangan pekerjaan baru.
Namun, tanpa langkah strategis untuk membangkitkan kembali sektor manufaktur, cerita kelam Sritex bisa menjadi awal dari domino yang lebih besar di perekonomian Indonesia.