184 total views
JAKARTA – Belum reda kegaduhan terkait MinyaKita, minyak goreng bersubsidi yang ditemukan bermasalah karena takaran yang dikurangi dan dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kini masyarakat kembali dikejutkan dengan kasus baru.
Gas elpiji 3 kg, yang akrab disebut “gas melon” karena tabungnya berwarna hijau, dilaporkan dioplos ke tabung LPG 12 kg non-subsidi. Tabung yang telah dioplos ini kemudian dijual dengan harga jauh lebih mahal, merugikan konsumen dan melanggar aturan distribusi bahan bakar bersubsidi.
Kasus ini terungkap setelah Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri melakukan operasi penggerebekan di tiga lokasi berbeda, yakni Setu (Kabupaten Bekasi), Cileungsi (Bogor), dan Tegal (Jawa Tengah).
Dalam operasi tersebut, polisi menyita ribuan tabung gas, termasuk 1.797 tabung yang diduga telah dioplos.
Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, yang memimpin penyelidikan, menjelaskan bahwa pelaku memindahkan isi gas dari tabung 3 kg bersubsidi ke tabung 12 kg non-subsidi menggunakan metode sederhana namun licik.
“Mereka memodifikasi regulator dan menggunakan es batu untuk menyuntikkan gas dari tabung 3 kg ke tabung 12 kg,” ungkapnya.
Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membahayakan konsumen. Tabung 12 kg yang dioplos tidak memiliki isi sesuai standar, sehingga konsumen membayar lebih untuk produk yang kualitas dan kuantitasnya dipertanyakan.
Harga tabung 12 kg non-subsidi yang seharusnya mencerminkan pasaran wajar menjadi jauh lebih tinggi karena ulah oknum yang mencari keuntungan dengan cara curang. Sementara itu, gas melon 3 kg yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah justru disalahgunakan, memperparah kelangkaan di kalangan yang membutuhkan.
Kejadian ini menambah daftar panjang masalah pengelolaan komoditas bersubsidi di Indonesia.
Sebelumnya, MinyaKita menjadi sorotan setelah ditemukan bahwa isi kemasannya dikurangi dari 1 liter menjadi 750-800 ml oleh beberapa produsen nakal, sementara harganya melampaui HET Rp15.700 per liter.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) bahkan mengancam akan mencabut izin usaha pelaku yang terbukti melakukan kecurangan, dengan potensi hukuman penjara dan denda hingga Rp2 miliar berdasarkan UU Perlindungan Konsumen.
Publik pun mulai mempertanyakan efektivitas pengawasan pemerintah terhadap distribusi barang bersubsidi. Nailul Huda, ekonom dari CELIOS, menilai bahwa kasus-kasus seperti ini dapat semakin menggerus kepercayaan masyarakat terhadap produk yang dikelola pemerintah.
“Kita sudah dihebohkan dengan dugaan pengoplosan BBM, lalu MinyaKita, dan kini gas melon. Ini menunjukkan ada kelemahan sistemik dalam pengawasan,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah berjanji akan mengambil tindakan tegas. Selain penegakan hukum oleh kepolisian, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan akan meningkatkan koordinasi dengan Satgas Pangan untuk memastikan barang bersubsidi sampai ke tangan yang berhak.
Operasi pasar juga digencarkan untuk menstabilkan harga dan pasokan, terutama setelah temuan bahwa MinyaKita dijual hingga Rp18.000 per liter di beberapa daerah.
Namun, bagi masyarakat, kasus ini meninggalkan rasa kecewa dan ketidakpastian.
Erni, seorang ibu rumah tangga dari Jayapura, mengungkapkan kekhawatirannya.
“Kalau MinyaKita dan gas melon saja dioplos, apa lagi yang bisa kami percaya? Harusnya pemerintah lebih serius mengawasi,” ujarnya.
Sentimen serupa juga terlihat di media sosial, di mana warganet menyuarakan kegeraman mereka atas maraknya praktik curang yang merugikan rakyat kecil.
Sementara penyelidikan terhadap jaringan pengoplosan gas masih berlangsung, publik menantikan langkah konkret dari pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan.
Hingga kini, kasus MinyaKita dan gas melon menjadi pengingat bahwa pengelolaan subsidi yang buruk tidak hanya merugikan negara, tetapi juga memperberat kehidupan masyarakat yang seharusnya dilindungi. Gaduh ini tampaknya masih jauh dari usai.