3,121 total views
INN NEWS – Di tengah dinamika politik yang terus berkembang, Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi salah satu isu yang memicu kontroversi besar di Indonesia pada tahun 2025.
RUU ini, yang diajukan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, menuai penolakan keras dari berbagai kalangan masyarakat sipil, aktivis, organisasi hak asasi manusia (HAM), dan akademisi.
Mengapa RUU TNI ini begitu ditentang? Berikut adalah alasan utama yang mendorong penolakan tersebut, dilengkapi dengan kutipan dari draft RUU TNI 2024.
Alasan Penolakan dan Kutipan RUU TNI
1. Kemungkinan Kembalinya Dwifungsi Militer
Salah satu kekhawatiran terbesar masyarakat adalah potensi kembalinya “dwifungsi” militer, yaitu peran ganda militer dalam urusan sipil dan politik, yang pernah menjadi ciri khas Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Dalam draft RUU TNI 2024, Pasal 47 diusulkan untuk memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Kutipan dari Pasal 47 Ayat (2) RUU TNI 2024 menyatakan:
“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.”
Kritikus, seperti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menganggap klausul ini sebagai ancaman serius terhadap supremasi sipil dan demokrasi.
Mereka berargumen bahwa penempatan prajurit aktif di posisi sipil, termasuk kementerian nontradisional seperti Pendidikan atau Keuangan, dapat mengabaikan prinsip profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) dan membuka ruang bagi militerisme yang dapat melemahkan demokrasi.
2. Proses Legislasi yang Tidak Transparan
Proses pembahasan RUU TNI juga menjadi sorotan tajam. Rapat tertutup yang diadakan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Maret 2025, memicu protes keras dari aktivis dan masyarakat sipil.
Aksi demonstrasi, seperti yang dilakukan oleh KontraS dan koalisi lainnya, menuntut pembukaan ruang partisipasi publik dalam pembahasan RUU ini.
Masyarakat merasa bahwa pembahasan di balik pintu tertutup, terutama di lokasi mewah, mencerminkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas DPR, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang inklusif.
Tidak adanya akses publik terhadap draft terbaru RUU TNI, sebagaimana diungkapkan oleh pengguna X seperti @jorgianaaa memperkuat persepsi bahwa proses ini tidak demokratis.
3. Ancaman terhadap Reformasi Militer dan Hak Asasi Manusia
Reformasi militer pasca-1998 telah berupaya memisahkan peran TNI dari urusan politik dan sipil, mengembalikan fokus TNI pada tugas pokoknya, yaitu pertahanan negara.
RUU TNI yang mengusulkan perluasan jabatan sipil dan kenaikan batas usia pensiun prajurit dianggap oleh banyak pihak, termasuk Amnesty International Indonesia, sebagai langkah mundur dari agenda reformasi ini. Kutipan dari Pasal 53 RUU TNI 2024 menyatakan:
“Prajurit dapat melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun untuk jabatan fungsional, dengan ketentuan perpanjangan-undangan.”
Banyak pihak menilai kebijakan ini tidak adil dan berpotensi mengurangi akuntabilitas militer, terutama jika prajurit terlibat dalam tindak pidana.
Organisasi seperti Imparsial dan Amnesty International menyoroti bahwa RUU ini berpotensi melemahkan perlindungan HAM dan negara hukum, mengingat penempatan prajurit di posisi sipil dapat mengurangi pemeriksaan hukum terhadap tindakan mereka.
4. Kenaikan Batas Usia Pensiun yang Dianggap Tidak Adil
Selain perluasan jabatan, RUU TNI juga mengusulkan kenaikan batas usia pensiun prajurit hingga 65 tahun untuk jabatan fungsional, dibandingkan batas saat ini yang maksimal 58 tahun.
Banyak pihak menilai kebijakan ini tidak adil, terutama karena usia pensiun ini jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor swasta atau ASN lainnya. Kritikus, seperti yang disampaikan dalam diskusi di platform media sosial, menyarankan agar usia pensiun TNI disamakan dengan sektor swasta, kecuali untuk posisi pengajar di Akademi Militer atau Universitas Pertahanan yang memiliki fungsi akademik spesifik.
5. Intimidasi terhadap Aktivis dan Masyarakat Sipil
Ketegangan semakin meningkat dengan laporan intimidasi terhadap aktivis yang menentang RUU TNI. Pada 16 Maret 2025, Kantor KontraS di Jakarta Pusat didatangi tiga orang tak dikenal tengah malam, yang mengaku dari media tetapi tidak menjelaskan identitas atau tujuannya.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menduga aksi ini berkaitan dengan kritik mereka terhadap RUU TNI, khususnya setelah aksi mendobrak rapat tertutup DPR.
Kejadian ini memperkuat persepsi bahwa pemerintah atau pihak tertentu berusaha membungkam suara oposisi, yang semakin memicu penolakan masyarakat.
Tiga Alasan Paling Menguatkan Penolakan
Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah tiga alasan utama yang paling menguatkan penolakan masyarakat Indonesia terhadap RUU TNI:
Potensi Kembalinya Dwifungsi Militer
Perluasan jabatan sipil untuk prajurit aktif, seperti yang diatur dalam Pasal 47 RUU TNI 2024, dianggap sebagai ancaman terhadap supremasi sipil dan demokrasi, mengingat risiko kembalinya pengaruh militer dalam politik yang dapat melemahkan reformasi pasca-1998.
Proses Legislasi yang Tidak Transparan
Pembahasan RUU TNI dalam rapat tertutup dan kurangnya akses publik terhadap draft terbaru menciptakan ketidakpercayaan terhadap DPR, menimbulkan persepsi bahwa proses ini tidak demokratis dan tidak melibatkan partisipasi rakyat.
Ancaman terhadap Reformasi Militer dan HAM
Perubahan seperti kenaikan batas usia pensiun (Pasal 53) dan perluasan peran TNI dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi militer, berpotensi mengurangi akuntabilitas TNI dan melemahkan perlindungan hak asasi manusia serta negara hukum.


