HomeTrendingPengesahan RUU TNI Merupakan Kemunduran Demokrasi yang Brutal

Pengesahan RUU TNI Merupakan Kemunduran Demokrasi yang Brutal

Published on

spot_img

 210 total views

INN NEWS – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh DPR RI pada hari ini memicu gelombang kritik keras dari berbagai kalangan, terutama para pakar hukum tata negara.

Salah satu suara yang menonjol adalah dari Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, yang menyebut langkah ini sebagai “kemunduran demokrasi yang brutal” dan membawa Indonesia kembali ke bayang-bayang militerisme ala Orde Baru.

Menurut Herdiansyah, revisi UU TNI yang kini telah disahkan menjadi undang-undang ini tidak hanya bertentangan dengan semangat reformasi 1998, tetapi juga mengancam prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi utama negara demokrasi.

“Ini bukan sekadar revisi biasa. Ini adalah langkah sistematis untuk mengembalikan peran militer dalam ranah sipil, sesuatu yang telah kita hapuskan dengan susah payah pasca-reformasi,” ujarnya dalam sebuah wawancara.

Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah Pasal 47 dalam UU yang baru disahkan, yang memperbolehkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil di berbagai institusi, termasuk Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, hingga kementerian tertentu.

Herdiansyah menilai, ketentuan ini membuka peluang bagi militer untuk ikut campur dalam tata kelola pemerintahan dan hukum, yang seharusnya menjadi domain sipil.

Baca juga:

Meski Ditolak Sana-sini, RUU TNI Tetap Disahkan DPR, Mahasiswa Terus Bergerak

“Bayangkan seorang prajurit bersenjata duduk di kursi hakim agung atau jaksa. Ini bukan hanya pelanggaran supremasi sipil, tetapi juga ancaman nyata terhadap keadilan dan independensi hukum,” tegasnya.

Kritik serupa juga dilontarkan oleh Herlambang Wiratraman, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dalam orasinya pada aksi Mimbar Bebas di UGM beberapa hari lalu, ia menyebut proses penyusunan dan pengesahan RUU TNI dilakukan secara ugal-ugalan dan tidak transparan.

“Pembentukan hukum seperti ini tidak mendesak, apalagi di tengah kebutuhan mendesak lain seperti kesejahteraan rakyat. Ini menunjukkan prioritas yang salah dan semangat anti-reformasi,” katanya.

Pengesahan RUU TNI ini juga menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, mahasiswa, hingga organisasi seperti KontraS dan Imparsial.

Mereka menyoroti bahwa perluasan peran TNI, termasuk dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang kini mencakup 17 tugas pokok dari sebelumnya 14, berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI—sebuah konsep yang memberi militer peran ganda dalam pertahanan dan politik, yang telah dihapuskan pada era reformasi.

Herdiansyah menambahkan, tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah terlihat sejak proses pembahasan RUU ini, yang dilakukan secara tertutup dan mendapat pengawalan ketat oleh prajurit TNI, seperti yang terjadi di Hotel Fairmont beberapa waktu lalu.

“Pengerahan militer untuk mengamankan rapat sipil dan teror terhadap aktivis yang kritis adalah sinyal buruk. Ini gaya Orde Baru yang bangkit kembali,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membela pengesahan RUU TNI dengan menyatakan bahwa ini adalah bagian dari dinamika demokrasi. “Kami sudah berupaya menyerap aspirasi publik. Demonstrasi dan penolakan adalah hal wajar dalam sistem demokrasi,” katanya.

Namun, pernyataan ini tidak meredam kekhawatiran para pakar dan masyarakat sipil yang melihat langkah ini sebagai ancaman serius bagi kebebasan dan supremasi hukum.

Bagi Herdiansyah dan banyak pengamat lainnya, pengesahan RUU TNI bukan hanya soal perluasan kewenangan militer, tetapi juga pertanda erosi demokrasi yang lebih luas.

 “Militer dan demokrasi adalah dua sistem yang tidak bisa disatukan. Jika militer dibiarkan berkuasa di ranah sipil, maka demokrasi yang kita bangun selama lebih dari dua dekade ini akan runtuh dengan cara yang brutal,” pungkasnya.

Pengesahan UU ini kini menjadi titik krusial yang akan menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Apakah langkah ini akan menjadi awal dari reformasi militer yang lebih profesional, atau justru pintu masuk bagi kemunduran demokrasi, masih menjadi pertanyaan besar yang terus bergema di tengah masyarakat.

Artikel Terbaru

Prabowo utus Jokowi ke Pemakaman Paus: Politisasi dan Langgar Etika Diplomatik

JAKARTA -  Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengutus mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu perwakilan Indonesia untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada 26 April 2025 menuai polemik.

Kontroversi Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional: Dinilai Melecehkan Reformasi 

INN NEWS - Usulan untuk menetapkan mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memicu polemik di tengah masyarakat. 

Wapres Bicara Bonus Demografi, Videonya Tuai Dislike Puluhan Ribu, Akhirnya Disembunyikan

JAKARTA - Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mengunggah video berjudul “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia” di kanal YouTube pribadinya pada 19 April 2025.

Pemerintah Target di Atas 5%, tapi IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Hanya 4,7% di 2025-2026

INN NEWS - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam laporan terbarunya, World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025. 

artikel yang mirip

Prabowo utus Jokowi ke Pemakaman Paus: Politisasi dan Langgar Etika Diplomatik

JAKARTA -  Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengutus mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu perwakilan Indonesia untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada 26 April 2025 menuai polemik.

Kontroversi Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional: Dinilai Melecehkan Reformasi 

INN NEWS - Usulan untuk menetapkan mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memicu polemik di tengah masyarakat. 

Wapres Bicara Bonus Demografi, Videonya Tuai Dislike Puluhan Ribu, Akhirnya Disembunyikan

JAKARTA - Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mengunggah video berjudul “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia” di kanal YouTube pribadinya pada 19 April 2025.