423 total views
JAKARTA – Pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Pambudy, baru-baru ini memicu perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Dalam sambutannya di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pada Sabtu, 22 Maret 2025, Rachmat menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) dianggap lebih mendesak dibandingkan upaya penyediaan lapangan pekerjaan.
Menurutnya, kekurangan gizi yang dialami jutaan rakyat Indonesia merupakan masalah yang harus segera diatasi, dan pemberian pekerjaan saja tidak cukup untuk memberikan solusi cepat.
“Jadi Ibu dan Bapak sekalian, kalau ada orang mengatakan, ‘udah, kenapa mesti ngasih makan?’ ‘kenapa tidak dikasih pekerjaan saja?’ tidak akan cepat tercapai untuk mengatasi persoalan ini,” ujar Rachmat dalam pidatonya.
Ia menyoroti data yang dimiliki Bappenas, yang menyebutkan bahwa sekitar 180 juta penduduk Indonesia belum memenuhi kecukupan gizi.
Kondisi ini, menurutnya, berdampak serius pada kesehatan masyarakat, mulai dari meningkatnya risiko kelahiran bayi cacat, penyakit seperti tuberkulosis (TBC), hingga angka kematian yang tinggi.
Rachmat menekankan bahwa program MBG, yang menjadi salah satu janji utama Presiden Prabowo Subianto, merupakan langkah strategis untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas menuju visi Indonesia Emas 2045.
“Jadi kita ini bisa ditebak postur tubuhnya, kecerdasannya, kemampuan fisiknya, kemampuan otaknya dari makanan yang kita makan. Sebelum kita mendidik anak-anak kita, sebelum menyehatkan anak-anak kita, sebelum kita mengarahkan anak-anak kita untuk jadi apa ini dan itu, berilah makan yang secukupnya,” paparnya.
Lebih lanjut, ia mengutip perkembangan ilmu pengetahuan yang menunjukkan bahwa asupan gizi tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik dan kecerdasan, tetapi juga aspek estetika seperti kecantikan wajah.
“Ternyata teknologi baru, pengetahuan baru itu sudah menjelaskan bahwa makan itu tidak hanya memberi pengaruh fisik dan kecerdasan, tapi ternyata memberi pengaruh kepada kecantikan dan juga wajah daripada manusia itu sendiri,” tambahnya.
Namun, pernyataan ini tidak luput dari kritik dan perdebatan. Banyak kalangan, terutama di media sosial, mempertanyakan logika di balik prioritas MBG ketimbang penciptaan lapangan pekerjaan.
Sejumlah warganet berargumen bahwa tanpa pekerjaan, masyarakat tidak akan memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga secara berkelanjutan.
“Justru bisa kurang gizi karena orang tuanya nggak dapat pekerjaan, please use logic,” tulis salah satu pengguna di platform X.
Komentar lain menyebutkan, “Lah kan harusnya dua-duanya. Kalau miskin cuma mampu dapat MBG siang, malamnya gimana?”
Meski demikian, Rachmat tetap optimistis bahwa MBG adalah langkah awal yang krusial. Ia menilai program ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mencetak sejarah baru dalam pembangunan manusia.
“Setiap Presiden punya sejarahnya sendiri, punya catatan, caranya sendiri, dan kita yang sedang bersama-sama pimpinan Presiden beberapa tahun terakhir sedang membangun sejarah baru,” ucapnya.
Program MBG sendiri telah mulai dijalankan secara bertahap sejak awal 2025, dengan alokasi anggaran Rp71 triliun pada APBN 2025 untuk menyasar sekitar 19,47 juta penerima manfaat, termasuk anak sekolah dan ibu hamil. Pemerintah berharap program ini dapat meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi lokal melalui keterlibatan petani dan produsen pangan.
Kontroversi ini menunjukkan bahwa meskipun niat baik ada di balik MBG, tantangan dalam menyinkronkan kebijakan gizi dan ekonomi tetap menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
Apakah MBG benar-benar dapat menjadi solusi jangka panjang atau hanya bantuan sementara, waktu yang akan menjawab. Yang jelas, perbincangan ini telah membuka diskusi luas tentang prioritas pembangunan di Indonesia.