279 total views
INN NEWS – Penunjukan Burhanuddin Abdullah, seorang mantan narapidana korupsi, sebagai Ketua Tim Pakar Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) telah memicu gelombang kontroversi di tengah masyarakat Indonesia.
Dengan latar belakang sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pernah divonis lima tahun penjara pada 2008 atas kasus korupsi aliran dana BI senilai Rp100 miliar, kehadirannya di posisi strategis ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seseorang dengan rekam jejak seperti itu diberi kepercayaan untuk mengelola aset negara yang bernilai triliunan rupiah?
Latar Belakang Burhanuddin dan Kasus Korupsi
Burhanuddin Abdullah bukan nama asing di dunia ekonomi Indonesia. Ia memiliki karier cemerlang, mulai dari Staf Bagian Kredit Produksi di BI, hingga menjabat sebagai Gubernur BI pada 2003-2008.
Ia juga pernah menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid. Pendidikannya pun mentereng: lulusan Universitas Padjadjaran, Master of Arts di Michigan State University, dan Doktor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro.
Namun, semua prestasi itu tercoreng ketika ia terbukti bersalah dalam kasus korupsi yang melibatkan penyalahgunaan dana BI untuk kepentingan yang tidak semestinya, termasuk aliran dana ke DPR.
Vonis lima tahun penjara yang dijatuhkan pada 2008 menjadi noda hitam dalam perjalanan kariernya. Kasus ini bukan hanya mencoreng reputasinya, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi kepercayaan publik terhadap institusi keuangan negara.
Setelah menyelesaikan hukumannya, Burhanuddin sempat kembali ke dunia publik, termasuk menjadi Komisaris Utama PLN dan Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024. Kini, langkahnya menuju Danantara menjadi sorotan tajam.
Apa Itu Danantara?
Danantara adalah lembaga baru yang dibentuk di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, diresmikan pada 24 Februari 2025. Dengan nama yang merupakan akronim dari “Daya Anagata Nusantara” (kekuatan masa depan Nusantara), lembaga ini bertugas mengelola dan mengoptimalkan aset negara, khususnya kepemilikan di perusahaan-perusahaan BUMN.
Aset yang berada di bawah pengelolaannya mencapai Rp14.715 triliun, termasuk saham di raksasa BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom, dan holding tambang Mind ID. Tujuannya mulia: meningkatkan efisiensi dan nilai ekonomi aset negara. Namun, pemilihan figur seperti Burhanuddin memantik keraguan akan integritas dan kredibilitas lembaga ini.
Bagaimana Ini Bisa Terjadi?
Ada beberapa faktor yang memungkinkan Burhanuddin kembali ke posisi strategis seperti ini:
Pengalaman dan Kompetensi Teknis
Terlepas dari kasus korupsinya, Burhanuddin memiliki pengalaman panjang di sektor keuangan dan ekonomi.
Jabatannya sebagai Gubernur BI, posisi di IMF, dan berbagai peran strategis lainnya menunjukkan bahwa ia memiliki keahlian yang sulit disangkal. Pemerintah mungkin melihatnya sebagai aset berharga dari sisi pengetahuan dan jaringan, terutama untuk mengelola institusi sekompleks Danantara.
Kedekatan dengan Penguasa
Peran Burhanuddin sebagai Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran menunjukkan hubungan erat dengan Presiden Prabowo. Dalam politik, loyalitas dan kedekatan sering kali menjadi faktor penentu dalam penunjukan jabatan, bahkan mengesampingkan rekam jejak hukum.
Ini bukan pertama kalinya figur kontroversial diangkat ke posisi penting karena alasan politis.
Absennya Aturan Ketat
Di Indonesia, tidak ada larangan eksplisit bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik tertentu di luar jabatan legislatif, eksekutif, atau yudikatif yang diatur dalam UU Pemilu atau regulasi serupa. Untuk posisi seperti Ketua Tim Pakar Danantara, yang bersifat teknis dan tidak langsung terkait jabatan publik terpilih, celah hukum ini memungkinkan penunjukannya.
Normalisasi Korupsi dalam Sistem
Sayangnya, kasus seperti ini mencerminkan sebuah fenomena yang lebih luas: korupsi kerap kali tidak menjadi penghalang absolut bagi karier seseorang di Indonesia.
Banyak mantan koruptor yang kembali ke panggung politik atau ekonomi setelah menjalani hukuman, didukung oleh sistem yang cenderung memaafkan atau melupakan masa lalu demi kepentingan pragmatis.
Dampak dan Kontroversi
Keputusan ini tidak luput dari kritik. Pengamat ekonomi seperti Bhima Yudhistira menegaskan bahwa integritas dan transparansi adalah kunci bagi lembaga seperti Danantara agar dipercaya investor global.
Penunjukan Burhanuddin justru berisiko meruntuhkan kepercayaan publik dan pasar, apalagi mengingat Danantara mengelola aset bernilai fantastis yang memengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Warganet di platform X bahkan menyebutnya sebagai “reinkarnasi korupsi,” mencerminkan kekecewaan dan sinisme masyarakat.
Dari sisi lain, pendukung Burhanuddin mungkin berargumen bahwa ia telah menjalani hukuman dan berhak mendapat kesempatan kedua. Namun, dalam konteks pengelolaan keuangan negara, di mana kepercayaan adalah mata uang utama, argumen ini sulit diterima banyak pihak.
Kasus Bank Century—yang menjadi cermin betapa rapuhnya sistem keuangan jika dikelola tanpa integritas—masih membayangi ingatan kolektif bangsa.
Apa yang Harus Dilakukan?
Agar Danantara tidak kehilangan legitimasi sebelum benar-benar beroperasi, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah berikut:
Transparansi Seleksi: Jelaskan alasan di balik penunjukan Burhanuddin secara terbuka dan logis, bukan sekadar mengandalkan narasi kompetensi.
Pengawasan Ketat: Bentuk mekanisme pengawasan independen untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Prioritaskan Integritas: Jika kredibilitas adalah tujuan, figur dengan rekam jejak bersih harus diutamakan, terutama untuk posisi sensitif seperti ini.
Kembalinya Burhanuddin Abdullah ke panggung pengelolaan keuangan negara melalui Danantara adalah paradoks yang sulit dicerna. Di satu sisi, ia membawa pengalaman dan keahlian; di sisi lain, masa lalunya menimbulkan risiko besar bagi kepercayaan publik dan stabilitas sistem.
Ini bukan hanya soal satu individu, tetapi tentang pesan yang dikirimkan kepada rakyat: apakah integritas masih menjadi prioritas, atau hanya formalitas yang bisa dilangkahi demi kepentingan tertentu? Waktu akan menjawab apakah Danantara menjadi terobosan ekonomi atau justru ladang baru bagi kontroversi lama.