390 total views
JAKARTA – Nilai tukar rupiah diperkirakan akan melemah sebagai dampak dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang berencana menerapkan tarif impor bagi seluruh negara, termasuk Indonesia.
Pengumuman resmi terkait kebijakan ini dijadwalkan pada Rabu, 2 April 2025, dan diperkirakan akan memengaruhi pergerakan harga emas serta semakin menekan nilai tukar rupiah.
Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, kebijakan Trump berpotensi mendorong kenaikan harga emas secara signifikan. Selain itu, kebijakan ini juga dapat memperlemah rupiah dan berdampak negatif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
“Ada ketakutan saya, Rupiah ini akan mendekati Rp 17 ribu (per US$ 1). Karena kita tahu bahwa pasar pun juga masih libur sampai tanggal 7 April. Bank Indonesia pun juga tidak melakukan intervensi di pasar. Ini kemungkinan besar Rupiah pun juga akan melemah,” ucap Ibrahim pada (1/4).
“Dari kebijakan ini, pasti yang akan terasa nanti adalah barang-barang impor. Karena batu bara, nikel, CPO (crude palm oil) ini pun juga masuk di Amerika. Artinya, pada saat nanti mereka masuk dan kena biaya impor, anggaplah 25% harganya akan dinaikkan. Berarti, pemerintah Indonesia harus mencari pasar baru,” ungkapnya.
Sepanjang kuartal pertama tahun 2025, kinerja rupiah sendiri menjadi yang terburuk di Asia, sementara sebagian besar mata uang di kawasan justru mengalami penguatan terhadap dolar AS.
Tak hanya terhadap dolar AS, rupiah juga melemah cukup dalam dibandingkan dengan mata uang negara lain. Kondisi ini menjadikan rupiah semakin tertekan di pasar internasional karena nilainya yang terus menurun.
Mengawali tahun 2025, rupiah sudah berada di kisaran Rp16.000 per dolar AS, tepatnya Rp16.195/US$ pada hari pertama perdagangan tahun ini.
Tekanan terhadap rupiah tidak hanya berasal dari kebijakan tarif AS di bawah kepemimpinan Trump, tetapi juga dari ketidakpastian terkait suku bunga acuan Federal Reserve yang turut memengaruhi pergerakan mata uang.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot rata-rata berada di kisaran Rp16.348 per dolar AS sepanjang kuartal pertama 2025. Angka ini menunjukkan pelemahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, di mana rata-rata nilai tukar rupiah berada di Rp15.779 per dolar AS.
Pergerakan rupiah pada kuartal pertama tahun ini tercatat sebagai yang terlemah secara kuartalan dalam sejarah. Bahkan, pada 25 Maret 2025, rupiah sempat menyentuh level terendah dalam 25 tahun terakhir—sejak krisis moneter 1997-1998—yakni di Rp16.642 per dolar AS dalam perdagangan intraday, sebelum akhirnya ditutup di Rp16.595 per dolar AS pada hari yang sama.
Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2024, rupiah mengalami pelemahan sebesar 2,77% terhadap dolar AS hingga akhir kuartal pertama, menjadikannya mata uang dengan performa terburuk di Asia selama periode tersebut.
Sementara itu, mayoritas mata uang Asia justru mengalami penguatan. Dolar Singapura naik 1,81%, yuan offshore menguat 0,93%, dan peso Filipina meningkat 0,8%. Ringgit Malaysia juga mencatat kenaikan 0,76%, yuan Tiongkok naik 0,51%, baht Thailand menguat 0,36%, dan won Korea Selatan bertambah 0,17%. Yen Jepang bahkan mengalami lonjakan tertinggi dengan apresiasi sebesar 5% dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Tren penguatan mata uang Asia ini sejalan dengan melemahnya indeks dolar AS (DXY), yang mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama dunia.
Pada kuartal pertama 2025, DXY tercatat mengalami penurunan hingga 4%.
Pelemahan rupiah yang terjadi di tengah tren penguatan mata uang negara lain terhadap dolar AS disebabkan oleh sejumlah faktor domestik.
Beberapa isu utama yang membebani pergerakan rupiah antara lain prospek fiskal Indonesia, yang menghadapi tantangan akibat defisit anggaran yang jarang terjadi di awal tahun, dipicu oleh penurunan penerimaan negara dan kebijakan populis Presiden Prabowo Subianto.
Selain itu, pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara turut menimbulkan ketidakpastian, sementara kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi semakin meningkat seiring melemahnya daya beli masyarakat dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Isu lain yang berkontribusi terhadap pelemahan rupiah adalah kabar mengenai pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang memicu arus keluar dana asing dan semakin menekan nilai tukar.
Penurunan peringkat investasi saham Indonesia oleh sejumlah bank investasi global juga memperburuk sentimen pasar.
Di sisi lain, tensi politik kian meningkat akibat penolakan publik terhadap pengesahan UU TNI, yang dinilai mengancam prinsip-prinsip reformasi 1998