328 total views
INN NEWS – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga melonjaknya tingkat kemiskinan menjadi ancaman nyata yang disebut-sebut oleh para ekonom sebagai dampak dari kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump bagi Indonesia.
Beberapa hari lalu, Trump mengumumkan pengenaan tarif dasar dan bea masuk terhadap barang-barang dari lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia.
Produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar AS kini dikenakan tarif sebesar 32%, yang disebut sebagai respons atas tarif impor yang diberlakukan Indonesia terhadap barang-barang AS, yang diklaim mencapai 64%.
Kebijakan ini memicu kekhawatiran besar di kalangan pelaku ekonomi, terutama karena potensi dampaknya terhadap ekspor, lapangan kerja, dan stabilitas ekonomi nasional.
Tarif Resiprokal Trump, Ancaman bagi Ekonomi Indonesia
Kebijakan tarif resiprokal Trump bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan menyetarakan tarif impor AS dengan tarif yang dikenakan oleh negara mitra dagangnya.
Dalam kasus Indonesia, pengenaan tarif 32% di atas tarif dasar 10% yang berlaku untuk semua negara menjadi pukulan telak bagi sektor ekspor. Produk unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, dan komoditas pertanian—yang selama ini mengandalkan pasar AS—kini menghadapi tantangan daya saing yang signifikan.
Penurunan ekspor ke AS, yang menyumbang sekitar 10,5% dari total ekspor non-migas Indonesia, diperkirakan akan memicu efek domino: produksi menurun, perusahaan memangkas tenaga kerja, dan pengangguran meningkat.
Ekonom senior seperti Didin S. Damanhuri dari Institut Pertanian Bogor memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mempercepat pelemahan nilai tukar rupiah. Ia memprediksi rupiah bisa melampaui Rp17.000 per dolar AS dalam waktu dekat, sebuah level yang mengingatkan pada krisis ekonomi 1998.
Pelemahan rupiah ini tidak hanya meningkatkan beban utang luar negeri Indonesia—yang mencapai US$427,5 miliar per Januari 2025—tetapi juga memicu sentimen negatif di pasar modal, dengan potensi anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) bahkan menyebutkan bahwa dampaknya bisa memicu resesi ekonomi pada kuartal IV-2025 jika tidak ditangani dengan strategi yang tepat.
Sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki, yang bergantung pada ekspor ke AS, diperkirakan akan menjadi yang paling terpukul.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyoroti bahwa kenaikan tarif ini akan meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk ekspor nasional.
Data dari Apindo mencatat bahwa pada Januari-Februari 2025 saja, sudah ada 40.000 pekerja yang terkena PHK, ditambah 250.000 lainnya yang dirumahkan pada tahun sebelumnya.
Jika ekspor terus tertekan, angka ini berpotensi melonjak, yang pada akhirnya akan memperburuk tingkat kemiskinan yang saat ini sudah menjadi perhatian serius.
Strategi Prabowo: Makan Bergizi Gratis, Hilirisasi, dan BRICS
Di tengah ancaman ini, Presiden Prabowo Subianto menawarkan pendekatan yang cukup unik untuk menghadapi gejolak ekonomi global.
Dalam berbagai pernyataan, ia menegaskan bahwa Indonesia akan mengandalkan program Makan Bergizi Gratis, percepatan hilirisasi sumber daya alam, dan penguatan kerja sama dengan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai solusi.
Namun, apakah strategi ini mampu menangkal dampak negatif dari kebijakan Trump, atau justru berpotensi memperburuk situasi?
Makan Bergizi Gratis
Program Makan Bergizi Gratis, yang menjadi salah satu janji kampanye Prabowo, bertujuan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri dan menjaga daya beli masyarakat.
Dengan mengalokasikan anggaran besar—diperkirakan mencapai Rp450 triliun per tahun—program ini diharapkan dapat mendongkrak permintaan domestik, yang menyumbang sekitar 54% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Namun, dalam konteks tekanan ekspor akibat tarif Trump, program ini tidak secara langsung menjawab tantangan penurunan pendapatan dari sektor ekspor atau ancaman PHK massal.
Jika ekspor anjlok dan pengangguran meningkat, daya beli masyarakat justru bisa tergerus, sehingga efektivitas program ini dipertanyakan.
Hilirisasi
Hilirisasi, yang telah digagas sejak era pemerintahan sebelumnya, menjadi salah satu pilar utama strategi Prabowo. Keberhasilan hilirisasi nikel—yang meningkatkan nilai ekspor dari US$3,7 miliar pada 2014 menjadi US$34,3 miliar pada 2022—dijadikan contoh untuk memperluas ke sektor lain seperti bauksit, tembaga, dan mineral lainnya.
Prabowo juga meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk mendanai proyek-proyek hilirisasi, dengan harapan meningkatkan nilai tambah ekspor dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Meski terdengar menjanjikan, hilirisasi membutuhkan waktu dan investasi besar, sementara dampak tarif Trump sudah terasa dalam jangka pendek. Selain itu, jika pasar global melambat akibat perang dagang, permintaan terhadap produk hilirisasi pun bisa menurun.
Kerja Sama BRICS
Prabowo juga mengandalkan ekspansi perdagangan dengan negara-negara BRICS untuk mengimbangi penurunan ekspor ke AS. Dengan memperkuat hubungan dagang dengan China, India, dan negara-negara lain di blok ini, Indonesia berharap dapat menemukan pasar alternatif.
Namun, tantangannya adalah China sendiri kemungkinan besar juga akan terpukul oleh kebijakan Trump, mengingat AS adalah salah satu pasar utama ekspornya. Jika ekonomi China melemah, ekspor Indonesia ke China—yang mencakup komoditas seperti batu bara dan minyak sawit—juga akan terdampak, menciptakan efek ganda yang merugikan.
Mampu atau Berbahaya?
Strategi Prabowo memiliki potensi untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, terutama melalui hilirisasi dan diversifikasi pasar ekspor.
Namun, dalam jangka pendek, pendekatan ini tampaknya kurang responsif terhadap ancaman langsung dari tarif Trump. Program Makan Bergizi Gratis, meski dapat meningkatkan konsumsi domestik, tidak cukup untuk mengatasi kontraksi ekspor dan PHK massal.
Hilirisasi, meskipun strategis, membutuhkan waktu untuk memberikan hasil nyata, sementara kerja sama dengan BRICS belum tentu mampu menyerap kelebihan kapasitas ekspor yang sebelumnya ditujukan ke AS.
Lebih jauh lagi, pendekatan ini bisa menjadi berbahaya jika tidak diimbangi dengan langkah-langkah mitigasi yang lebih konkret dan cepat. Misalnya, tanpa negosiasi intensif dengan AS untuk menurunkan tarif atau mencari pasar alternatif yang lebih stabil, Indonesia berisiko kehilangan momentum ekonomi.
Pengeluaran besar untuk program sosial seperti Makan Bergizi Gratis juga dapat membebani fiskal, terutama jika pendapatan negara dari ekspor menurun dan rupiah terus tertekan.
Dalam skenario terburuk, kebijakan ini bisa memperparah defisit anggaran dan meningkatkan ketergantungan pada utang, yang justru memperlemah posisi Indonesia di tengah gejolak global.
Tarif resiprokal Trump memang menjadi ancaman serius bagi Indonesia, dengan potensi gelombang PHK dan kenaikan tingkat kemiskinan yang mengintai.
Strategi Prabowo menunjukkan visi jangka panjang untuk membangun ketahanan ekonomi, tetapi kurang memberikan solusi langsung terhadap krisis yang ada.
Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu melengkapi strategi tersebut dengan langkah-langkah taktis, seperti diplomasi dagang yang agresif, insentif untuk sektor ekspor yang terdampak, dan penguatan stabilitas moneter.
Tanpa itu, ancaman ekonomi dari kebijakan Trump bisa menjadi kenyataan yang sulit dihindari.