185 total views
INN NEWS – Pada hari ini, Rabu, 9 April 2025, pukul 11:08 WIB, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan tren pelemahan.
Berdasarkan data terkini, rupiah diperdagangkan di kisaran Rp16.800 per dolar AS, mencerminkan sentimen negatif yang dipicu oleh kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Kebijakan ini, yang resmi mulai berlaku hari ini, menetapkan tarif dasar 10% untuk semua barang impor ke AS dan tarif resiprokal sebesar 32% untuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi proteksionisme Trump yang dijuluki “Liberation Day”.
Lantas, bagaimana kondisi ini memengaruhi rupiah dan mata uang negara-negara Asia lainnya?
Rupiah di Bawah Tekanan Kebijakan Tarif Trump
Pelemahan rupiah hari ini tidak terlepas dari pengumuman kebijakan tarif Trump pada 2 April 2025, yang kemudian diikuti dengan penandatanganan perintah eksekutif pada 3 April 2025.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan defisit perdagangan signifikan terhadap AS, dikenakan tarif resiprokal 32%, lebih tinggi dibandingkan tarif rata-rata yang diberlakukan pada negara lain.
Tarif ini berdampak langsung pada daya saing produk ekspor Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan komoditas sawit, yang selama ini mengandalkan pasar AS.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan bahwa rupiah berpotensi mendekati level Rp17.000 per dolar AS dalam waktu dekat jika tekanan ini berlanjut tanpa intervensi signifikan dari Bank Indonesia (BI).
“Pasar masih bergejolak setelah libur panjang Idul Fitri, dan kebijakan tarif Trump memperparah sentimen negatif. Tanpa langkah stabilisasi, rupiah bisa terus terpuruk,” ujarnya. Data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga diperkirakan melemah 2-3% pada perdagangan pertama pasca-libur, menambah indikasi ketidakpastian ekonomi domestik.
Faktor lain yang memperburuk kondisi rupiah adalah meningkatnya indeks dolar AS (DXY) dan yield obligasi AS, yang mendorong investor beralih ke aset aman seperti dolar.
Selain itu, fundamental ekonomi Indonesia yang rentan, seperti defisit fiskal yang melebar dan ketergantungan pada ekspor, membuat rupiah lebih sensitif terhadap guncangan eksternal seperti kebijakan Trump.
Bagaimana Nasib Mata Uang Negara Asia Lainnya?
Kebijakan tarif Trump tidak hanya menargetkan Indonesia, tetapi juga negara-negara Asia Tenggara dan Asia lainnya, dengan besaran tarif yang bervariasi.
Berikut adalah gambaran kondisi mata uang negara-negara Asia pada 9 April 2025 berdasarkan performa terkini pasca-pengumuman tarif:
Peso Filipina
Mata uang ini tercatat sebagai yang terlemah di Asia dalam periode 2-4 April 2025, dengan penurunan sebesar 0,51%. Filipina, yang dikenakan tarif resiprokal 30%, menghadapi tekanan besar karena ekspor barang elektronik dan pertaniannya ke AS terancam.
Baht Thailand
Baht melemah 0,29% dalam periode yang sama. Dengan tarif resiprokal 36%, Thailand, yang bergantung pada ekspor otomotif dan makanan olahan ke AS, juga merasakan dampak signifikan.
Yuan China
Yuan terkoreksi 0,19% pada 2-4 April 2025. China, yang dikenakan tarif 34% (termasuk tambahan dari tarif sebelumnya 20%), menghadapi pukulan berat karena posisinya sebagai eksportir terbesar ke AS. Namun, pelemahan yuan cenderung lebih terkendali berkat intervensi pemerintah China.
Ringgit Malaysia
Berbeda dengan tren umum, ringgit justru menguat 0,38% pada periode tersebut. Malaysia, dengan tarif 24%, tampaknya diuntungkan oleh pergeseran investasi dari negara-negara yang lebih terdampak, seperti Vietnam.
Yen Jepang
Yen mencatatkan penguatan signifikan sebesar 1,57% pada 2-4 April 2025. Jepang, yang dikenakan tarif lebih rendah (sekitar 15%), menjadi salah satu “pemenang” karena statusnya sebagai safe haven di tengah gejolak pasar global.
Won Korea Selatan
Won menguat tipis sebesar 0,32%. Tarif 20% yang dikenakan pada Korea Selatan tidak seberat negara ASEAN, dan permintaan global terhadap teknologi Korea membantu menahan pelemahan won.
Dong Vietnam
Vietnam, dengan tarif tertinggi di ASEAN (46%), menghadapi risiko besar karena lebih dari 25% PDB-nya bergantung pada ekspor ke AS. Dong diperkirakan melemah signifikan pada 9 April 2025, meskipun data real-time belum tersedia secara lengkap.
Dampak Kebijakan Tarif Trump
Kebijakan tarif Trump menciptakan efek domino di pasar global. Negara-negara ASEAN, khususnya Vietnam, Thailand, dan Indonesia, menjadi yang paling terpukul karena ketergantungan mereka pada ekspor ke AS.
Bloomberg Economics memprediksi bahwa dampak perang dagang ini bisa lebih buruk dibandingkan krisis finansial global 2008-2009, terutama karena posisi China sebagai bantalan ekonomi kawasan tidak lagi sekuat dulu.
Di sisi lain, negara seperti Jepang dan Malaysia menunjukkan ketahanan, bahkan memanfaatkan situasi ini untuk menarik investasi yang bergeser dari negara-negara dengan tarif lebih tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa dampak kebijakan Trump tidak seragam dan tergantung pada struktur ekonomi masing-masing negara.
Peluang dan Tantangan bagi Indonesia
Meskipun rupiah melemah, ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Pergeseran rantai pasok global akibat tarif tinggi pada Vietnam dan China membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi manufaktur.
Namun, ini membutuhkan langkah cepat dari pemerintah, seperti reformasi regulasi, insentif fiskal, dan peningkatan efisiensi logistik yang saat ini masih mahal (14% dari PDB).
Di sisi lain, tantangan utama adalah mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan diversifikasi ekspor ke Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, yang menunjukkan permintaan meningkat.
Tanpa strategi jangka panjang, Indonesia berisiko terus berada dalam posisi defensif menghadapi gejolak ekonomi global.