216 total views
JAKARTA – Baru-baru ini Presiden terpilih Prabowo Subianto mengunjungi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Kunjungan ini menjadi sorotan publik karena menandai silaturahmi politik pasca-Pilpres 2024 yang penuh dinamika. Namun, meski suasana pertemuan tampak hangat, PDIP tetap menegaskan posisinya untuk tidak bergabung dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
Hubungan Rumit PDIP, Prabowo, dan Gibran
Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024 menandai perubahan signifikan dalam lanskap politik Indonesia.
Namun, bagi PDIP, kemenangan ini juga membawa kompleksitas tersendiri. Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebelumnya adalah kader PDIP.
Keputusannya untuk bergabung dengan Prabowo sebagai calon wakil presiden, yang didukung oleh manuver politik Jokowi, dianggap sebagai pengkhianatan oleh banyak kalangan di internal PDIP.
Hal ini memicu ketegangan antara PDIP dan Jokowi, yang berujung pada pemecatan Jokowi, Gibran, dan Bobby Nasution dari keanggotaan partai melalui keputusan resmi pada Desember 2024.
Megawati, sebagai figur sentral PDIP, tampaknya tidak bisa memisahkan hubungan politiknya dengan Prabowo dari bayang-bayang Gibran dan Jokowi.
Pertemuan antara Megawati dan Prabowo pada 7 April 2025 menjadi simbol silaturahmi antarpemimpin. Namun, meskipun pertemuan itu berlangsung hangat, PDIP tetap menegaskan posisinya di luar pemerintahan.
Baca juga:
Reuni Tertutup Mega-Pro: Antara Transaksi dan Ketegangan Baru, Jokowi Bagaimana?
Pernyataan Megawati bahwa PDIP bisa membantu Prabowo tanpa masuk koalisi menunjukkan pendekatan pragmatis sekaligus tegas: mendukung stabilitas nasional, tetapi menjaga jarak dari konfigurasi kekuasaan yang melibatkan Gibran.
Mengapa Gibran Menjadi Penghalang?
Keberadaan Gibran sebagai wakil presiden menjadi faktor utama yang menghambat PDIP untuk bergabung dalam koalisi Prabowo.
Bagi PDIP, Gibran bukan sekadar individu, melainkan representasi dari konflik masa lalu dengan Jokowi. Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, pernah menyatakan bahwa bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran sama saja dengan memberi legitimasi pada tindakan Jokowi dan Gibran yang dianggap “mengkhianati” PDIP.
Dalam pandangannya, ini adalah persoalan mendasar yang sulit dilepaskan dari kalkulasi politik PDIP.
Selain itu, hubungan buruk antara Megawati dan Jokowi pasca-Pilpres 2024 memperkuat resistensi PDIP terhadap koalisi. Jokowi, yang memiliki peran besar dalam memuluskan jalan Gibran ke kursi wapres, dipandang sebagai aktor yang berkontribusi pada kekalahan kandidat PDIP, Ganjar Pranowo.
Dengan Gibran berada di sisi Prabowo, PDIP tampaknya tidak ingin posisinya di pemerintahan dikaitkan dengan narasi “kemenangan Jokowi” yang mereka tolak.
Di sisi lain, hubungan pribadi Megawati dengan Prabowo dinilai tetap harmonis. Pertemuan mereka menunjukkan adanya saling penghormatan antarpemimpin.
Namun, keberadaan Gibran sebagai bagian integral dari pemerintahan membuat PDIP enggan mengambil langkah lebih jauh.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menilai bahwa PDIP masih mempertimbangkan sejauh mana dominasi Jokowi dan Gibran dalam pemerintahan Prabowo. Jika pengaruh Jokowi terlalu kuat, PDIP kemungkinan besar akan tetap di luar.
Sikap Megawati: Dukungan Tanpa Koalisi
Pernyataan Megawati bahwa PDIP akan tetap di luar koalisi tetapi bersedia membantu Prabowo mencerminkan strategi politik yang cermat.
Dalam konteks ini, “membantu” bisa diartikan sebagai dukungan tidak langsung, seperti tidak menghambat kebijakan pemerintah di DPR—di mana PDIP masih memegang posisi strategis sebagai Ketua DPR melalui Puan Maharani—atau memberikan masukan konstruktif tanpa ikut bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan.
Sikap ini juga sejalan dengan nilai gotong royong yang ditekankan PDIP sebagai bagian dari ideologi Pancasila.
Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP, menegaskan bahwa bentuk kerja sama politik dengan Prabowo akan ditentukan langsung oleh Megawati setelah ada pertemuan lebih lanjut.
Namun, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menginterpretasikan pernyataan ini sebagai tanda bahwa PDIP siap menjadi pendukung pemerintahan dari luar, tanpa masuk koalisi formal.
Menurut Muzani, Prabowo menerima pendekatan ini dengan lapang dada, menganggapnya sebagai bagian dari silaturahmi politik yang menyejukkan rakyat.
Pandangan Pengamat Politik
Para pengamat politik memberikan beragam analisis terkait sikap PDIP ini. Berikut adalah beberapa komentar terkini:
I Nyoman Subanda (Undiknas Denpasar)
“PDIP sulit bergabung dengan pemerintahan Prabowo karena ada Gibran Rakabuming Raka. Keberadaan Gibran menjadi simbol konflik yang belum selesai antara PDIP dan Jokowi. Ini bukan sekadar soal politik praktis, tetapi juga soal harga diri partai.”
Firman Noor (BRIN)
“PDIP melihat pemerintahan Prabowo-Gibran sebagai produk campur tangan Jokowi. Bergabung berarti mengakui legitimasi proses yang mereka anggap bermasalah. Posisi di luar pemerintahan adalah pilihan logis untuk menjaga integritas ideologis dan politik mereka.”
Aditya Perdana (UI)
“PDIP masih menimbang untung-rugi. Mereka membuka pintu untuk kerja sama dengan Prabowo, tetapi Gibran dan pengaruh Jokowi menjadi variabel kunci. Jika Prabowo bisa menawarkan akomodasi politik yang signifikan tanpa melibatkan bayang-bayang Jokowi, mungkin ada ruang untuk dialog lebih lanjut.”
Ujang Komarudin (Indonesia Political Review)
“Pidato Megawati menunjukkan arah jelas bahwa PDIP lebih condong menjadi oposisi. Namun, ini tidak mutlak di tingkat daerah. Di pilkada, PDIP bisa saja fleksibel, tergantung kepentingan lokal, tapi di nasional, Gibran adalah garis merah.”
Burhanuddin Muhtadi (Indikator Politik)
“Ada gestur saling membuka pintu antara PDIP dan Prabowo, tetapi Gibran dan Jokowi menjadi penghalang. PDIP ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berkontribusi tanpa harus kehilangan identitas sebagai kekuatan independen.”
Implikasi Politik ke Depan
Sikap PDIP ini memiliki implikasi besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Tanpa PDIP dalam koalisi, pemerintahan harus mengandalkan dukungan partai-partai lain yang telah bergabung, seperti Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN.
Namun, keberadaan PDIP di luar pemerintahan juga bisa menjadi penyeimbang yang konstruktif, terutama melalui peran legislatifnya di DPR.
Di sisi lain, sikap ini mempertegas garis ideologis PDIP sebagai partai yang tidak mudah berkompromi dengan konfigurasi kekuasaan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai mereka.
Kunjungan Prabowo ke Megawati mungkin menjadi langkah awal untuk mencairkan ketegangan politik pasca-Pilpres 2024.
Namun, selama Gibran masih berada di sisi Prabowo, koalisi formal dengan PDIP tampaknya akan tetap menjadi mimpi yang sulit terwujud.
Bagaimana dinamika ini berkembang ke depan akan sangat bergantung pada kemampuan Prabowo menavigasi hubungan dengan Megawati dan PDIP, serta sejauh mana pemerintahan dapat menunjukkan independensi dari bayang-bayang Jokowi.