173 total views
JAKARTA – Pada Senin malam, 7 April 2025, sebuah pertemuan yang telah lama dinantikan akhirnya terjadi. Presiden Prabowo Subianto bertandang ke kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Pertemuan selama 1,5 jam ini berlangsung secara tertutup, tanpa kehadiran elite partai dari kedua kubu, namun tetap menyisakan jejak politik yang mengundang spekulasi luas.
Dalam konteks politik Indonesia yang kerap diwarnai rivalitas dan polarisasi, momen ini menjadi titik penting untuk mengurai arah masa depan hubungan antara dua tokoh besar tersebut serta implikasinya bagi lanskap politik nasional.
Antara Sejarah Panjang dan Momentum Lebaran
Prabowo dan Megawati bukanlah dua nama asing dalam dinamika politik Indonesia. Keduanya pernah berpasangan sebagai capres dan cawapres pada Pemilu 2009, menunjukkan bahwa hubungan personal mereka telah terjalin lama sebelum rivalitas politik memisahkan PDI-P dan Gerindra dalam beberapa tahun terakhir.
Pilpres 2024, yang mempertemukan kubu Prabowo-Gibran melawan kubu Ganjar-Mahfud yang didukung PDI-P, sempat menciptakan ketegangan.
Namun, para pengamat seperti Yunarto Wijaya dari Charta Politika menegaskan bahwa ketegangan itu lebih banyak terjadi di level operasional partai, bukan antara Prabowo dan Megawati secara pribadi.
Pertemuan ini terjadi dalam suasana Lebaran 2025, sebuah momentum yang kerap dimanfaatkan untuk silaturahmi politik. Sebelumnya, pada 31 Maret 2025, putra Prabowo, Didit Hediprasetyo, telah mengunjungi Megawati, menjadi sinyal awal bahwa komunikasi antar kedua tokoh ini mulai mencair.
Ketua DPR Puan Maharani, putri Megawati, juga telah mengindikasikan bahwa pertemuan ini akan digelar “secepatnya” pasca-Lebaran. Kehadiran Prabowo dengan mobil dinas kepresidenan Maung Garuda putih pada Senin malam akhirnya mengkonfirmasi prediksi tersebut.
Isi Pertemuan: Apa yang Dibahas?
Meski detail resmi belum diungkap, beberapa sumber memberikan petunjuk tentang substansi pembicaraan. Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut bahwa Prabowo dan Megawati bertukar pikiran mendalam tentang masa depan Indonesia di tengah situasi global yang penuh tantangan.
Megawati, dengan pengalaman memimpin Indonesia melalui krisis ekonomi pasca-1998, diyakini memberikan perspektif berharga bagi Prabowo yang baru enam bulan menjabat sebagai presiden.
Diskusi ini kemungkinan mencakup strategi menghadapi ketidakpastian ekonomi global, stabilitas politik domestik, hingga isu-isu strategis seperti kongres PDI-P yang akan digelar tahun ini.
Dari sisi PDI-P, pertemuan ini juga memiliki dimensi internal. Megawati disebut-sebut ingin memastikan pemerintah mendukung kelancaran kongres partainya, di tengah kekhawatiran adanya intervensi eksternal yang bisa mengganggu konsolidasi internal PDI-P.
Sementara itu, Prabowo tampaknya tengah berupaya memperluas basis dukungan politiknya, termasuk dengan merangkul PDI-P yang selama ini menjadi satu-satunya partai besar di luar koalisi pemerintahannya.
Rekonsiliasi atau Kompromi Elit?
Pertemuan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang utama. Pertama, sebagai upaya rekonsiliasi politik yang menunjukkan kedewasaan kedua tokoh dalam mengesampingkan perbedaan demi stabilitas nasional.
Prabowo, sebagai presiden baru, membutuhkan dukungan lintas partai untuk menjalankan agenda besar seperti swasembada pangan dan penguatan ekonomi. Sementara itu, PDI-P, meski menang di Pileg 2024, tidak berada dalam posisi pemerintahan, sehingga pertemuan ini bisa menjadi jembatan untuk menjaga relevansi politiknya.
Kedua, ada pandangan skeptis yang melihat pertemuan ini sebagai kompromi elit semata. Sifatnya yang tertutup dan minimnya transparansi memicu spekulasi bahwa ada deal politik di balik layar, seperti kemungkinan PDI-P bergabung ke koalisi pemerintah atau kesepakatan tertentu terkait kursi kekuasaan.
Namun, pernyataan elite PDI-P seperti Ahmad Basarah bahwa pertemuan ini tidak terkait dengan bagi-bagi kursi kabinet mencoba meredam spekulasi tersebut. Meski begitu, ketidakjelasan isi pembicaraan tetap meninggalkan ruang bagi interpretasi bahwa ini adalah langkah pragmatis untuk mempertahankan kekuatan politik masing-masing pihak.
Bagaimana dengan Jokowi?
Pertanyaan yang tak kalah menarik adalah posisi Joko Widodo (Jokowi) dalam dinamika ini. Sebagai mantan presiden yang berperan besar dalam mengantarkan Prabowo ke kursi kepresidenan melalui dukungan terhadap pasangan Prabowo-Gibran, Jokowi memiliki hubungan yang kompleks dengan Megawati.
Hubungan keduanya merenggang pasca-Pilpres 2024, terutama setelah PDI-P merasa “dikhianati” oleh keputusan Jokowi mendukung Gibran sebagai cawapres, yang dianggap melanggar garis ideologis partai.
Hingga April 2025, belum ada tanda-tanda rekonsiliasi langsung antara Jokowi dan Megawati, meski keduanya sempat bertemu dalam acara pernikahan keponakan Jokowi pada Desember 2024.
Pertemuan Prabowo dan Megawati ini bisa menjadi sinyal tidak langsung bagi Jokowi. Prabowo, yang kini memimpin koalisi besar warisan Jokowi, tampaknya ingin menjaga hubungan baik dengan semua pihak, termasuk PDI-P, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada jejak politik pendahulunya.
Jika PDI-P akhirnya bergabung ke koalisi Prabowo, ini bisa mengurangi pengaruh Jokowi sebagai “kingmaker” di panggung politik nasional, sekaligus menempatkan Megawati kembali sebagai aktor kunci.
Di sisi lain, ada kemungkinan Prabowo berperan sebagai mediator untuk mencairkan hubungan Jokowi dan Megawati, meski belum ada indikasi kuat bahwa ini menjadi agenda utama pertemuan tersebut.
Stabilitas atau Ketegangan Baru?
Dalam jangka pendek, pertemuan ini memperkuat narasi stabilitas politik. Koalisi Indonesia Maju yang dipimpin Prabowo menyambut baik langkah ini, melihatnya sebagai bukti kesediaan presiden merangkul semua pihak, termasuk rival politik.
Bagi PDI-P, pertemuan ini bisa menjadi modal untuk menegaskan posisinya sebagai mitra kritis pemerintah tanpa harus menjadi oposisi frontal.
Namun, dalam jangka panjang, ada risiko ketegangan baru. Jika PDI-P benar-benar bergabung ke koalisi, hal ini bisa memicu kekecewaan di kalangan pendukungnya yang mengharapkan partai banteng tetap menjadi penyeimbang kekuasaan.
Di sisi lain, kubu pendukung Prabowo yang selama ini menikmati dominasi koalisi besar mungkin merasa terancam dengan masuknya PDI-P yang punya basis massa kuat.
Dinamika ini akan sangat bergantung pada bagaimana kedua pihak menindaklanjuti pertemuan ini secara konkret, serta bagaimana Jokowi—sebagai figur yang masih relevan—menyikapi perubahan konstelasi ini.