203 total views
INN INTERNASIONAL – Hubungan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas pada 10 April 2025, menyusul eskalasi perang tarif yang kian sengit.
Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan kenaikan tarif terbaru terhadap barang-barang impor dari China, sementara Beijing tak tinggal diam dan membalas dengan langkah serupa. Ketegangan ini tidak hanya mengguncang pasar global, tetapi juga menambah ketidakpastian dalam perekonomian dunia.
Tarif Terbaru dari AS
Hari ini, 10 April 2025, Trump mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap China menjadi 125%, naik signifikan dari tarif sebelumnya yang mencapai 104%.
Keputusan ini diambil setelah China memberlakukan tarif balasan sebesar 84% terhadap produk-produk AS, menyusul kenaikan tarif AS menjadi 104% pada 9 April 2025. Dalam pernyataannya, Trump menyebut tindakan China sebagai bentuk “kurang ajar” dan “perampokan terhadap Amerika selama bertahun-tahun.”
Namun, di saat yang sama, Trump juga mengumumkan penundaan implementasi tarif baru selama 90 hari untuk sebagian besar negara, dengan tarif dasar tetap sebesar 10%, kecuali untuk China yang mendapat perlakuan khusus dengan tarif 125%.
Sebelumnya, pada awal 2025, Trump telah memberlakukan dua tahap tarif tambahan masing-masing 10% terhadap semua impor dari China, yang kemudian meningkat menjadi 54% setelah pengenaan tambahan 34% pada 2 April 2025.
Kenaikan bertahap ini merupakan bagian dari strategi Trump untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan China serta menekan aliran fentanil ilegal yang diklaim berasal dari negara tersebut.
Balasan China
China, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, tidak tinggal diam. Pada 4 April 2025, Beijing mengenakan tarif balasan sebesar 34% terhadap semua barang impor dari AS, yang mulai berlaku hari ini, 10 April 2025. Setelah Trump menaikkan tarif menjadi 104% pada 9 April, China kembali membalas dengan menaikkan tarifnya menjadi 84%, menambah 50% dari tarif sebelumnya.
Komisi Tarif Dewan Negara China menyebut kebijakan AS sebagai “intimidasi unilateral” yang melanggar aturan perdagangan internasional dan merugikan kepentingan sah China.
Selain kenaikan tarif, China juga mengambil langkah lain, seperti memasukkan 11 perusahaan AS ke dalam daftar entitas yang tidak dapat diandalkan dan memberlakukan kontrol ekspor pada 16 perusahaan AS, termasuk larangan ekspor mineral tanah jarang seperti samarium, gadolinium, dan terbium ke AS. Langkah ini menunjukkan sikap tegas Beijing dalam menghadapi tekanan dari Washington.
Data Tarif Terbaru (10 April 2025)
Berikut adalah ringkasan tarif terbaru antara AS dan China berdasarkan informasi hari ini:
- Tarif AS ke China: 125% (sebelumnya 104%, naik dari 54% pada awal April)
- Tarif China ke AS: 84% (sebelumnya 34%, naik 50% sebagai balasan)
Tarif Dasar AS ke Negara Lain: 10% (ditunda implementasi penuh selama 90 hari)
Dampak dan Reaksi Pasar
Eskalasi ini memicu kekhawatiran di pasar global. Pada 4 April 2025, indeks utama Wall Street seperti Dow, S&P 500, dan Nasdaq anjlok masing-masing lebih dari 5%, mencatat kinerja terburuk dalam lima tahun terakhir.
Investor khawatir perang tarif ini akan memicu inflasi, resesi, dan gangguan rantai pasok global. Sementara itu, di Asia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah ke level Rp16.850/US$ pada 8 April 2025, mencerminkan sentimen negatif di pasar regional.
Trump sendiri tetap optimis, mengklaim kebijakannya berhasil meningkatkan lapangan kerja di AS.
Data Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan penambahan 228.000 pekerjaan pada Maret 2025, melampaui prediksi sebesar 130.000. Namun, tingkat pengangguran sedikit naik dari 4,1% menjadi 4,2%, menunjukkan adanya tekanan ekonomi di balik angka tersebut.
Ketegangan yang Belum Usai
Perang tarif ini tampaknya jauh dari kata selesai. Xi Jinping dikabarkan akan menggugat AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sementara Trump menyatakan siap “meladeni China di mana saja.”
Dengan kedua belah pihak saling serang melalui kebijakan tarif, dunia kini menanti dampak jangka panjang dari konflik ekonomi antara dua raksasa ini.
Bagi negara lain, termasuk Indonesia yang terkena tarif AS sebesar 32%, situasi ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mencari alternatif pasar dan memperkuat posisi di tengah ketidakpastian global.