903 total views
INN NEWS – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pada 6 Januari 2025 sebagai unggulan Presiden Prabowo Subianto, bertujuan mengatasi gizi buruk, stunting, dan memajukan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045.
Dengan anggaran awal Rp71 triliun dari APBN 2025, yang berpotensi membengkak hingga Rp171 triliun, program ini menargetkan 19,47 juta penerima pada tahun pertama dan 82,9 juta hingga 2029.
Namun, pelaksanaan MBG tersendat di berbagai daerah, ditambah dugaan buruknya tata kelola pembayaran mitra kerja sama.
Lebih jauh, sejumlah pengamat menilai program ini hanya menguntungkan “handai taulan” atau pihak-pihak tertentu yang dekat dengan pengambil kebijakan.
Program Mandek di Tengah Anggaran Jumbo
Pelaksanaan MBG menghadapi kendala serius meski didukung anggaran besar. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik cacatnya program ini dari sisi anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan, hingga pengawasan.
Kurangnya regulasi komprehensif menyebabkan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) seperti di Kalibata, Jakarta Selatan, berhenti beroperasi akibat masalah pembayaran dan kebangkrutan mitra.
Anggaran yang membengkak dari Rp71 triliun menjadi Rp171 triliun juga memicu pertanyaan, terutama karena Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut kebutuhan hanya Rp12 triliun per tahun.
Ketidakjelasan ini memunculkan kekhawatiran korupsi, dengan 37% masyarakat mengkhawatirkan hal tersebut, menurut survei Celios 2024.
Distribusi makanan juga tidak merata, dengan daerah tertinggal seperti Maluku-Papua kurang mendapat perhatian meski memiliki kasus stunting tinggi.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti pemangkasan biaya per porsi dari Rp15.000-Rp20.000 menjadi Rp10.000, yang berisiko menurunkan kualitas gizi.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Andi Wijaya, menambah sorotan kritis: “MBG tampaknya lebih diarahkan untuk menguntungkan handai taulan, seperti yayasan atau pihak tertentu yang dekat dengan penguasa, ketimbang fokus pada efisiensi dan dampak nyata bagi masyarakat.”
Ia menilai mekanisme penunjukan mitra kerja sama kurang transparan, memicu dugaan adanya kroniisme dalam pengelolaan program.
Fakta-Fakta Buruknya Pembayaran Mitra Kerja Sama
Buruknya pembayaran kepada mitra kerja sama menjadi sorotan utama. Kasus di Kalibata mencerminkan masalah ini. Mitra dapur, Ira Mesra Destiawati, melaporkan kerugian Rp975.375.000 karena Yayasan MBN, yang bekerja sama dengan BGN, tidak membayar haknya.
Ira telah memasok 65.025 porsi makanan dalam dua tahap (Februari-Maret 2025), menanggung biaya bahan pangan, sewa, listrik, hingga gaji juru masak.
Namun, yayasan justru mengklaim Ira berutang Rp45.314.249 dengan alasan tidak jelas. Kontrak yang tidak transparan memperparah situasi: anggaran per porsi dipotong dari Rp15.000 menjadi Rp12.500 atau Rp10.500, membuat mitra kesulitan menutup biaya operasional. Akibatnya, dapur Kalibata tutup sebelum Lebaran 2025.
Kasus serupa mencuat di berbagai daerah, memicu keresahan publik di platform X, yang menyebut tindakan yayasan sebagai “dzalim”.
Meski mediasi pada 16 April 2025 menghasilkan kesepakatan damai dan dapur Kalibata kembali beroperasi, pembayaran masih menunggu pencairan.
Ketidaktransparanan SPPG dan yayasan mendorong mitra melapor ke polisi atas dugaan penggelapan dana.
Pengamat ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Dr. Budi Santoso, menambahkan, “Ketidakjelasan pembayaran ini menunjukkan program ini lebih menguntungkan segelintir pihak, seperti yayasan tertentu, ketimbang mitra UMKM lokal yang seharusnya jadi tulang punggung MBG.”
Tantangan ke Depan
MBG berpotensi besar meningkatkan gizi anak, mengurangi stunting, dan menggerakkan ekonomi lokal melalui UMKM, petani, dan nelayan. Namun, tanpa perbaikan tata kelola, transparansi anggaran, dan kejelasan pembayaran, program ini berisiko gagal.
ICW merekomendasikan evaluasi menyeluruh dan penguatan pengawasan untuk mencegah korupsi, sementara CISDI menekankan perlunya regulasi rinci dan standar keamanan pangan.
Pemerintah harus memastikan mitra tidak lagi dirugikan oleh administrasi buruk dan memperkuat koordinasi dengan daerah untuk menjangkau wilayah dengan stunting tinggi.