952 total views
SEMARANG – Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, secara terbuka mengakui bahwa mengatasi kemiskinan di wilayahnya merupakan tantangan yang sangat berat.
Dalam pernyataannya di hadapan DPR, Luthfi menyebut Jawa Tengah sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa dan menegaskan bahwa dirinya “bukan Nabi Musa” yang mampu mengubah keadaan secara instan.
Pernyataan ini mencerminkan realitas kompleks yang dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan di provinsi dengan jumlah penduduk miskin mencapai sekitar 3,4 juta jiwa atau 9,58% dari total populasi per September 2024.
Luthfi, yang baru menjabat sebagai gubernur sejak awal 2025, menyampaikan bahwa kemiskinan di Jawa Tengah tidak bisa diselesaikan dengan cepat karena melibatkan berbagai faktor struktural, seperti rendahnya upah minimum regional (UMR) yang hanya sekitar Rp2,35 juta, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 140 ribu orang pada September 2024, serta rendahnya serapan hasil pertanian dan perikanan yang menjadi tumpuan mayoritas masyarakat.

“Kemiskinan adalah pekerjaan rumah besar. Kami butuh kerja keras dan kolaborasi semua pihak, bukan keajaiban,” ujarnya, seperti dikutip dari berbagai sumber.
Meski mengakui kesulitan, Luthfi telah meluncurkan sejumlah program untuk mengikis angka kemiskinan.
Salah satunya adalah penyaluran bantuan sosial seperti Kartu Jateng Sejahtera (KJS) yang memberikan dana Rp4,4 juta per orang per tahun, serta distribusi cadangan pangan berupa beras untuk keluarga miskin.
Selain itu, program Dokter Spesialis Keliling (Speling) digencarkan untuk meningkatkan akses kesehatan masyarakat di daerah terpencil, dan zakat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk membantu mustahik.
“Zakat berperan besar menurunkan kemiskinan. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat dan pengusaha melalui CSR,” kata Luthfi saat menyerahkan zakat di Masjid Baiturrahman, Semarang, pada Maret 2025.
Luthfi juga menekankan pentingnya perbaikan infrastruktur untuk mendukung pengentasan kemiskinan, seperti pembangunan jalan, irigasi pertanian, dan fasilitas pendidikan serta kesehatan. Ia mendorong sinergi dengan DPRD dan bupati/wali kota untuk memastikan program-program ini berjalan efektif.
“Saya sudah peringatkan para bupati, awas kalau masih ada kemiskinan di daerah masing-masing. Kita harus gerak cepat,” tegasnya dalam acara pelantikan Badan Percepatan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan di Semarang baru-baru ini.
Namun, Luthfi tetap realistis bahwa hasil dari upaya ini tidak akan terlihat dalam waktu singkat. Ia meminta dukungan semua elemen masyarakat, termasuk partai politik dan sektor swasta, untuk bersama-sama menekan angka kemiskinan.
“Kami punya timeline, tapi ini bukan soal 100 hari. Kami sedang membangun fondasi yang kuat untuk Jawa Tengah yang lebih sejahtera,” katanya.
Pernyataan Luthfi ini memicu beragam reaksi. Sebagian pihak mengapresiasi keterbukaannya dalam mengakui tantangan, sementara yang lain menilai pernyataan “bukan Nabi Musa” sebagai cerminan kurangnya optimisme.
Meski demikian, komitmen Luthfi untuk mengatasi kemiskinan tetap terlihat melalui langkah-langkah konkret yang telah dijalankan, seperti program subsidi pangan murah, pendidikan gratis untuk keluarga miskin ekstrem, dan penguatan UMKM agar naik kelas.
Dengan tantangan kemiskinan yang masih besar, keberhasilan Luthfi akan sangat bergantung pada konsistensi pelaksanaan program, koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat Jawa Tengah.
“Kami tidak menjanjikan keajaiban, tapi kami berjanji bekerja keras,” tutup Luthfi.


