HomeTrendingKeganjalan Pemerintah Menulis Ulang Sejarah Bangsa

Keganjalan Pemerintah Menulis Ulang Sejarah Bangsa

Published on

spot_img

 1,119 total views

INN NEWS – Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kebudayaan, mengumumkan rencana ambisius untuk menulis ulang sejarah nasional, dengan target penyelesaian pada Agustus 2025 sebagai bagian dari peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Proyek ini, yang dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, bertujuan menghasilkan “buku babon” sejarah nasional yang akan menjadi acuan resmi untuk pengajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Namun, rencana ini memicu gelombang kontroversi di kalangan sejarawan, akademisi, dan masyarakat sipil, yang khawatir proyek ini dapat menjadi alat legitimasi politik, meminggirkan kelompok tertentu, dan mengaburkan fakta sejarah.

Berikut berbagai dimensi kontroversi tersebut, berdasarkan fakta dan sudut pandang yang berkembang.

Latar Belakang Rencana Penulisan Ulang Sejarah

Menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon, penulisan ulang sejarah ini bertujuan untuk “memperbarui” dan “meluruskan” narasi sejarah Indonesia, mencakup periode prasejarah hingga pasca-Reformasi.

Lebih dari 100 sejarawan dari berbagai universitas dilibatkan untuk menyusun narasi baru yang disebut akan lebih inklusif dan menonjolkan peran aktif Indonesia dalam konteks global.

Salah satu perubahan signifikan adalah penggantian istilah seperti “Zaman Hindu-Buddha” atau “Zaman Islam” dengan istilah seperti “Indonesia dalam Jaringan Global” atau “Indonesia dalam Jaringan Timur Tengah” untuk menekankan peran aktif Indonesia dalam sejarah dunia.

Namun, proyek ini bukanlah yang pertama. Pada era Orde Baru, Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang disusun pada 1975 di bawah arahan Nugroho Notosusanto juga menjadi narasi resmi yang cenderung sentralistik, Jawa-sentris, dan berfokus pada elit politik serta militer.

Narasi tersebut dinilai mengabaikan suara kelompok marginal seperti perempuan, masyarakat adat, dan komunitas lokal. Rencana saat ini diharapkan dapat mengoreksi bias tersebut, tetapi justru memicu kekhawatiran baru.

Kontroversi dan Kritik

Potensi Legitimasi Politik

Banyak sejarawan dan aktivis, termasuk Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), menolak proyek ini karena dianggap berisiko menjadi alat legitimasi politik pemerintah.

Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah dengan pendekatan tafsir tunggal dapat memonopoli kebenaran dan merekayasa masa lalu untuk kepentingan politik tertentu.

Kekhawatiran ini diperkuat oleh fakta bahwa proyek ini digagas di awal pemerintahan baru, yang menurut Marzuki terasa “janggal” karena biasanya penulisan sejarah dilakukan setelah pemerintahan memiliki rekam jejak yang jelas.

Sejarawan Radius Setiyawan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya juga mengingatkan adagium “history is written by the victors” (sejarah ditulis oleh pemenang), menyoroti risiko narasi sejarah menjadi produk kekuasaan yang mengutamakan kepentingan kelompok dominan.

Pengaburan Fakta Sejarah

Ketua DPR Puan Maharani menegaskan pentingnya menjaga semangat “Jas Merah” (Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah) yang digaungkan Soekarno, memperingatkan agar penulisan ulang tidak mengaburkan fakta sejarah, baik yang indah maupun pahit.

Puan menekankan bahwa sejarah harus ditulis apa adanya untuk mengedukasi generasi muda tentang perjuangan bangsa.

Ia juga meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru, mengingat proyek ini menargetkan penyelesaian dalam waktu singkat, yang berpotensi menghasilkan narasi selektif dan bias.

Salah satu contoh konkret adalah perubahan istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal,” yang memicu mundurnya arkeolog Truman Simanjuntak dari tim penyusun.

Menurutnya, perubahan ini menghapus istilah dan ilmu prasejarah dari nomenklatur keilmuan, yang dapat membingungkan publik dan mengesankan bahwa masa tanpa tulisan sudah termasuk sejarah tertulis.

Peminggiran Peran Perempuan dan Sejarah Papua

Kritik lain yang mencolok adalah potensi peminggiran peran perempuan dan sejarah Papua.

Sejarawan Ar Razy menyoroti bahwa narasi sejarah resmi selama ini cenderung berfokus pada perang, kekuasaan, dan kepahlawanan, yang sering mengabaikan kontribusi perempuan.

Tokoh seperti Suwarsih Djoyopuspito, seorang guru dan novelis pada 1938-1939, serta Partini dari Pura Mangkunegara, jarang mendapat tempat dalam narasi sejarah resmi.

Sementara itu, sejarah Papua, termasuk isu sensitif seperti Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dan pelanggaran HAM, dikhawatirkan akan diabaikan atau diedit ketat untuk menghindari kontroversi.

Sejarawan Albert dari Papua menyatakan keinginan agar sejarah Papua ditulis oleh masyarakat Papua sendiri untuk memastikan kebenaran dan keadilan historis.

Kurangnya Transparansi dan Pelibatan Publik

Proses penulisan ulang ini dikritik karena kurang transparan. Komisi X DPR RI, yang bermitra dengan Kementerian Kebudayaan, mengaku belum menerima detail teknis tentang proses penyusunan, metodologi, atau substansi yang akan direvisi.

Selain itu, pelibatan publik, termasuk komunitas lokal, kelompok korban, dan sejarawan alternatif, dinilai masih formalistik.

Sejarawan Ayang Utriza Yakin menegaskan bahwa penulisan sejarah harus melibatkan akademisi dari berbagai keahlian dan wilayah di Indonesia, bukan hanya sejarawan yang dekat dengan pusat kekuasaan.

 

Artikel Terbaru

Ketika Seorang Sukidi Membunyikan Alarm, dan Gereja Justru Diam

INNNEWS - Tulisan Sukidi di harian Kompas berjudul “Alarm bagi Demokrasi” (13 November 2025)...

Suara Kegusaran di Tengah Euforia Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan

INNNEWS - Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan...

Pelatihan Menulis Aksara Jawa di PKK Kelurahan Danukusuman: Menjaga Warisan Leluhur di Era Digital

INNNEWS— Dalam upaya melestarikan budaya lokal di tengah arus modernisasi, PKK Kelurahan Danukusuman menggelar...

Pembukaan Rumah Belajar Pancasila Joyosuran: Wadah Baru Menggerakan Kesadaran Belajar Masyarakat

INNNEWS – Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pagi ini menjadi saksi peristiwa...

artikel yang mirip

Ketika Seorang Sukidi Membunyikan Alarm, dan Gereja Justru Diam

INNNEWS - Tulisan Sukidi di harian Kompas berjudul “Alarm bagi Demokrasi” (13 November 2025)...

Suara Kegusaran di Tengah Euforia Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan

INNNEWS - Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan...

Pelatihan Menulis Aksara Jawa di PKK Kelurahan Danukusuman: Menjaga Warisan Leluhur di Era Digital

INNNEWS— Dalam upaya melestarikan budaya lokal di tengah arus modernisasi, PKK Kelurahan Danukusuman menggelar...