1,003 total views
INN NEWS – Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2024, Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya yang dikemas dalam visi Astacita.
Namun, belum genap setahun menjabat, pemerintahan Prabowo mulai goyah di mata publik akibat serangkaian kebijakan dan isu yang memicu kegaduhan.
Dua kasus yang kini menjadi sorotan utama adalah kontroversi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat, dan pengalihan administratif empat pulau di Aceh ke Sumatra Utara.
Kedua isu ini tidak hanya mengguncang kepercayaan publik, tetapi juga memperlihatkan tantangan besar bagi Prabowo dalam menjaga legitimasi dan stabilitas pemerintahannya.
Raja Ampat: Surga yang Terancam Tambang Nikel
Raja Ampat, destinasi wisata bahari yang dikenal sebagai salah satu keajaiban dunia, kini berada di ujung tanduk.
Aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran oleh perusahaan seperti PT Gag Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining telah menyebabkan deforestasi lebih dari 500 hektar hutan dan sedimentasi yang mengancam terumbu karang—aset utama Raja Ampat sebagai UNESCO Global Geopark.
Meskipun isu ini berakar dari kebijakan era sebelumnya, pemerintahan Prabowo menuai kritik tajam karena dianggap lamban bertindak.
Pada 7 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengunjungi Raja Ampat dan menyatakan bahwa tidak ada kerusakan lingkungan signifikan, sebuah pernyataan yang langsung memicu kemarahan publik.
Kunjungan singkat ini dianggap tidak didukung kajian mendalam dan bertentangan dengan laporan Greenpeace serta pengamatan warga lokal, yang melaporkan penurunan drastis jumlah wisatawan di destinasi seperti Piaynemo—dari ratusan menjadi kurang dari 20 speed boat per hari.
Kampanye #SaveRajaAmpat yang diikuti 58.000 pendukung di media sosial menjadi cerminan kekecewaan rakyat, yang menyebut kerusakan ini sebagai “penghancuran surga.”
Pemerintah hanya menghentikan operasi tambang di Pulau Gag secara sementara, tanpa keputusan permanen untuk mencabut izin tambang. Sikap ambigu ini memperburuk persepsi publik, terutama di kalangan pecinta lingkungan dan pelaku wisata, yang mengharapkan Prabowo menunjukkan komitmen kuat terhadap pelestarian alam.
Isu ini juga menggambarkan dilema pemerintahan Prabowo: di satu sisi, dorongan untuk memaksimalkan eksploitasi sumber daya alam demi pertumbuhan ekonomi; di sisi lain, tekanan untuk menjaga aset lingkungan yang berbasis global.
Aceh: Konflik Pulau dan Ancaman Disintegrasi
Di ujung barat Indonesia, pemerintahan Prabowo menghadapi ujian lain dengan kontroversi pengalihan administratif empat pulau—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Belayar—dari Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
Keputusan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri era sebelumnya ini memicu protes keras warga Aceh, yang menganggapnya sebagai “perampasan wilayah” dan pelanggaran terhadap hak historis berdasarkan UU No. 24/1956 dan MoU Helsinki.
Pada awal Juni 2025, ratusan warga Aceh Singkil menduduki pulau-pulau tersebut sebagai bentuk penolakan, menegaskan bahwa pulau-pulau itu adalah bagian tak terpisahkan dari Aceh.
Sentimen di platform X memperlihatkan tuduhan bahwa pengalihan ini didorong oleh motif eksploitasi sumber daya alam, mirip dengan kasus Raja Ampat. Konflik ini tidak hanya menciptakan ketegangan antarprovinsi, tetapi juga membangkitkan trauma sejarah Aceh terkait hubungan dengan pemerintah pusat.
Pemerintahan Prabowo belum menunjukkan langkah konkret untuk meredakan konflik ini. Ketidakjelasan status hukum dan minimnya dialog dengan warga Aceh memperparah situasi, memicu persepsi bahwa pemerintah tidak sensitif terhadap aspirasi daerah.
Jika dibiarkan, isu ini berpotensi memperdalam ketidakpercayaan Aceh terhadap Jakarta, bahkan memunculkan narasi disintegrasi yang berbahaya.
Prabowo di Persimpangan Jalan
Kedua kasus ini—Raja Ampat dan Aceh—menjadi ujian awal bagi kepemimpinan Prabowo, yang menjanjikan pemerintahan pro-rakyat dan berbasis keadilan. Namun, respons yang lamban dan komunikasi yang buruk justru membuat pemerintah kehilangan pijakan.
Isu Raja Ampat, dengan dampaknya yang luas dan resonansi global, saat ini menjadi yang paling mengganggu, sebagaimana tercermin dari gelombang protes virtual dan nyata. Sementara itu, isu Aceh, meskipun lebih lokal, menyentuh isu sensitif identitas dan otonomi, yang dapat memicu ketidakstabilan regional.
Kegaduhan ini diperparah oleh warisan kebijakan kontroversial lainnya, seperti wacana pengampunan koruptor, kenaikan PPN 12%, dan pemotongan anggaran infrastruktur, yang sempat memicu ketidakpuasan publik.
Di tengah tekanan ini, Prabowo perlu segera mengambil langkah-langkah tegas: mencabut izin tambang di Raja Ampat secara permanen, meninjau ulang keputusan pengalihan pulau di Aceh melalui dialog terbuka, dan memperbaiki komunikasi publik untuk memebangun kepercayaan.
Tanpa langkah-langkah ini, pemerintahan Prabowo berisiko semakin terisolasi dari rakyat yang menginginkan perubahan nyata.
Raja Ampat dan Aceh bukan sekadar kasus lingkungan atau administratif, tetapi cerminan dari tantangan besar dalam menjalankan visi negara yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Akankah Prabowo mampu menemukan pijakan, atau justru terus terhuyung di tengah guncangan yang semakin keras? Waktu akan menjawab, tetapi rakyat Indonesia kini menanti dengan penuh kewaspadaan.


