518 total views
INN NEWS – Kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, menjadi salah satu perdebatan sengit di ranah hukum dan politik Indonesia.
Meski dituduh melakukan berbagai perbuatan melanggar hukum, kenyataannya, Tom Lembong berhasil membuat penuntut umum (JPU) kebingungan dan meragukan keabsahan tuntutan yang diajukan.
Berikut adalah argumen yang menunjukkan lemahnya tuntutan tersebut berdasarkan fakta yang disampaikan Lembong dalam dokumen pembelaannya.
Salah satu aspek utama yang membuat penuntut umum terlihat kurang meyakinkan adalah inkonsistensi dalam tuduhan terhadap Lembong.
Sebagaimana tercatat dalam dokumen pembelaan, JPU secara bersamaan menuduh Lembong “tidak mengangkat badan usaha milik negara” pada satu sisi, lalu di sisi lain malah menuduhnya “mengangkat badan usaha milik negara”.
Ketidakkonsistenan ini menunjukkan bahwa tuduhan tersebut tidak didasarkan pada landasan yang kuat dan cenderung dibuat-buat tanpa dasar hukum yang jelas.
Lembong juga menyoroti bahwa tuduhan terhadapnya didasarkan pada interpretasi yang keliru terhadap regulasi, khususnya Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 117 Tahun 2015.
Ia menyatakan bahwa penyalahgunaan atau salah tafsir terhadap regulasi ini telah dilakukan oleh JPU, sehingga membuat seluruh tuduhan menjadi tidak berdasar.
Jika regulasi tersebut diinterpretasikan secara benar dan konsisten, maka tindakan Lembong tidak dapat dikatakan melanggar hukum.
Dalam dokumen pembelaannya, Lembong menegaskan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan dirinya menerima aliran dana ilegal maupun melakukan tindakan pencurian negara.
Bahkan, saat di persidangan, penuntut umum tidak pernah mampu membuktikan bahwa Lembong secara langsung menerima manfaat pribadi dari kebijakan impor gula tersebut.
Tuduhan kerugian negara sebesar ratusan miliar rupiah pun tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya bukti transaksi keuangan yang nyata atau kerugian langsung yang bisa dikaitkan dengan perbuatannya.
Lembong juga menunjukkan bahwa tuntutan ini lebih bersifat politis dan tidak objektif. Ia mencontohkan bahwa proses hukum ini tampaknya dipolitisasi untuk memperlihatkan seakan-akan ada kejahatan besar di balik kebijakan impor gula yang dilakukan secara legal dan sesuai regulasi.
Banyak pihak yang terlibat, termasuk koperasi dan perusahaan swasta, tetap tidak tersentuh keadilan, sedangkan pihak tertentu justru menjadi sasaran akibat adanya tekanan politik.
Hal ini makin memperlemah kedudukan tuduhan dan menegaskan bahwa tuntutan ini seharusnya tidak berbasis pada bukti kuat, melainkan pada motif tertentu.
Sebagai tambahan, Lembong mengungkapkan bahwa JPU gagal menunjukan langkah-langkah konkret yang dilakukannya dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam pemberian izin impor gula.
Dia menyatakan bahwa banyak keputusan yang diambil sesuai dengan prosedur dan melibatkan berbagai kementerian terkait, termasuk menunggu regulasi yang mendukung secara hukum.
Ketidakjelasan dalam proses pengajuan dan penerbitan izin, ditambah ketidaktahuan JPU tentang prosedur tersebut, semakin memperlihatkan bahwa tuntutannya tidak berdasar.
Dari berbagai argumen yang disampaikan Tom Lembong, jelas terlihat bahwa tuntutan yang diajukan terhadap dirinya lemah dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Ketidakkonsistenan dalam tuduhan, ketidakjelasan regulasi, tidak adanya bukti konkret, dan politik di balik kasus ini semuanya menunjukkan bahwa penuntut umum telah melakukan kesalahan dalam mengajukan kasus ini.
Kasus ini seharusnya dijadikan pelajaran bagi penegak hukum bahwa keadilan harus didasarkan pada bukti dan prosedur yang adil, bukan sekadar politik atau kekuasaan semata.
Dengan demikian, Tom Lembong berhasil membuktikan bahwa tuduhan terhadapnya adalah temuan yang rapuh dan penuh ketidakpastian, yang pada akhirnya memunculkan keraguan terhadap validitas proses hukum yang sedang berjalan.