1,526 total views
INN NEWS – Pati, sebuah kabupaten di Jawa Tengah, kini menjadi pusat perhatian nasional akibat gejolak sosial yang dipicu oleh kebijakan kontroversial Bupati Pati, Sudewo, dari Partai Gerindra.
Keputusan untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250% untuk tahun 2025 telah memicu gelombang protes yang dikoordinasikan oleh Gerakan Pati Bersatu.
Aksi besar-besaran yang direncanakan pada 13–14 Agustus 2025 di Alun-Alun Pati, dengan target 50.000 peserta, tidak hanya menjadi perlawanan terhadap kebijakan lokal, tetapi juga tamparan besar bagi citra pemerintahan nasional di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Partai Gerindra.
Lebih jauh, sikap diam Gubernur Jawa Tengah, yang juga berasal dari Partai Gerindra, dalam kasus ini semakin memperkuat persepsi tentang mandulnya kepemimpinan daerah dari partai yang sama.
Latar Belakang Kebijakan dan Kontroversi
Pada 18 Mei 2025, Bupati Sudewo mengumumkan kenaikan PBB-P2 dalam rapat bersama Camat, Kades, dan PASOPATI.
Ia berdalih bahwa kenaikan ini diperlukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pati, yang hanya Rp 29 miliar, tertinggal jauh dibandingkan Jepara (Rp 75 miliar), Kudus, dan Rembang (masing-masing Rp 50 miliar).
Dana tersebut, menurut Sudewo, akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, perbaikan jalan, pengembangan RSUD RAA Soewondo, serta sektor pertanian dan perikanan.
Ia juga menyebut bahwa tarif PBB belum disesuaikan selama 14 tahun, sehingga kenaikan dianggap mendesak.
Namun, kebijakan ini memicu kemarahan masyarakat. Kenaikan 250% dianggap terlalu tinggi, terutama bagi petani dan masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjadi tulang punggung ekonomi Pati.
Media sosial, khususnya platform X, dipenuhi kecaman terhadap Sudewo, dengan beberapa warga bahkan menyerukan pengunduran dirinya karena dianggap tidak peka terhadap kesulitan rakyat.
Eskalasi Konflik dan Aksi Gerakan Pati Bersatu
Ketegangan memuncak pada 5 Agustus 2025, ketika Satpol PP Kabupaten Pati menyita air galon yang disumbangkan untuk mendukung rencana demonstrasi Gerakan Pati Bersatu.
Tindakan ini memicu bentrokan dengan warga, yang menganggapnya sebagai upaya pemerintah daerah untuk menekan hak menyampaikan pendapat.
Meskipun Plt Sekda Pati, Riyoso, mengklarifikasi bahwa penyitaan dilakukan demi ketertiban umum, bukan untuk membungkam protes, pernyataan ini gagal meredam amarah publik.
Gerakan Pati Bersatu, yang terdiri dari petani, pedagang, dan aktivis lokal, menegaskan komitmennya untuk menggelar aksi besar-besaran.
Mereka menargetkan 50.000 massa untuk turun ke jalan, menunjukkan skala kemarahan terhadap kebijakan Sudewo.
Bupati sendiri menanggapi dengan nada menantang, menyatakan bahwa ia tidak akan mundur kecuali demonstrasi benar-benar menghadirkan jumlah massa yang diklaim.
Pernyataan ini, yang terekam dalam video dan viral di media sosial, justru memperburuk situasi, dengan banyak warga menilai sikap Sudewo sebagai arogan dan tidak mencerminkan kepemimpinan yang melayani.
Mandulnya Peran Gubernur Jawa Tengah
Di tengah memanasnya situasi di Pati, Gubernur Jawa Tengah, yang juga kader Partai Gerindra, menjadi sorotan karena sikapnya yang dianggap pasif dalam menangani krisis ini.
Sebagai pemimpin tertinggi di provinsi, gubernur memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengarahkan kebijakan daerah, termasuk mediasi dalam konflik seperti yang terjadi di Pati.
Namun, hingga kini, tidak ada pernyataan resmi atau tindakan nyata dari gubernur untuk meredakan ketegangan atau mengevaluasi kebijakan Sudewo.
Ketidakhadiran ini memicu kritik keras dari masyarakat dan pengamat politik, yang menyebut gubernur “mandul” dalam menjalankan fungsi pengawasan dan koordinasi.
Di platform X, sejumlah pengguna menyayangkan sikap diam gubernur, dengan beberapa menyebutnya sebagai bukti kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten di bawah naungan Partai Gerindra.
Ketidakresponsifan ini tidak hanya memperburuk persepsi terhadap kepemimpinan lokal, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Gerindra dalam mendengar aspirasi rakyat di tingkat daerah.
Implikasi Politik bagi Pemerintahan Prabowo
Kontroversi di Pati ini bukan sekadar isu lokal, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap citra pemerintahan nasional di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Sebagai kader Partai Gerindra, tindakan Sudewo dan sikap pasif gubernur Jawa Tengah secara tidak langsung mencerminkan dinamika kepemimpinan partai yang kini berkuasa. Kebijakan yang dianggap membebani rakyat, ditambah dengan respons yang dinilai kurang empati, berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo, yang baru memulai masa jabatannya.
Sentimen negatif di media sosial, khususnya X, mulai mengaitkan kebijakan Sudewo dan ketidakresponsifan gubernur dengan Partai Gerindra secara keseluruhan.
Beberapa pengguna menyebut situasi ini sebagai bukti bahwa pemerintahan yang didukung Gerindra lebih mementingkan pendapatan daripada kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks politik nasional, isu ini bisa menjadi amunisi bagi oposisi untuk mengkritik pemerintahan Prabowo, terutama jika protes di Pati berujung pada eskalasi lebih lanjut.
Apa Selanjutnya?
Gerakan Pati Bersatu telah menunjukkan bahwa masyarakat Pati tidak tinggal diam menghadapi kebijakan yang dianggap tidak adil. Demonstrasi yang direncanakan pada 13–14 Agustus 2025 akan menjadi ujian besar bagi Bupati Sudewo dan pemerintah daerah.
Jika aksi ini berhasil mengumpulkan puluhan ribu massa seperti yang ditargetkan, tekanan untuk mencabut atau merevisi kebijakan PBB-P2 akan semakin kuat.
Di sisi lain, kegagalan pemerintah daerah dan provinsi dalam menangani situasi ini dengan bijak dapat memperburuk ketegangan sosial dan politik.
Bagi pemerintahan Prabowo, kontroversi ini menjadi pengingat bahwa kebijakan di tingkat lokal dapat berdampak besar pada persepsi nasional.
Partai Gerindra perlu segera mengambil langkah strategis, baik dengan mengevaluasi kebijakan Sudewo, mendesak gubernur untuk turun tangan, maupun memberikan sinyal kuat bahwa pemerintahan mendengar aspirasi rakyat.
Jika tidak, Gerakan Pati Bersatu bisa menjadi pemicu gelombang ketidakpuasan yang lebih luas, tidak hanya di Pati, tetapi juga di daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.


