HomeHeadlineMembaca Kondisi Politik Indonesia dari Pelarangan Bendera One Piece

Membaca Kondisi Politik Indonesia dari Pelarangan Bendera One Piece

Published on

spot_img

 994 total views

INN NEWS – Pelarangan penggunaan bendera bajak laut Jolly Roger—lambang kru Straw Hat Pirates dalam serial manga dan anime One Piece karya Eiichiro Oda—oleh otoritas di Indonesia sekilas terlihat seperti isu ringan.

Namun, di negeri yang memiliki sejarah panjang sensitif terhadap simbol, langkah ini menyentuh persoalan yang jauh lebih dalam: bagaimana negara memandang potensi simbol sebagai alat perlawanan dan pembentuk narasi publik.

Bendera Bajak Laut sebagai Teks Politik

Bagi para penggemar One Piece, Jolly Roger bukan sekadar gambar tengkorak dan tulang silang. Di dalam cerita, bendera ini mewakili semangat melawan otoritas “World Government” yang digambarkan korup, manipulatif, dan tega menutupi kebenaran sejarah.

Tokoh utama, Monkey D. Luffy, dan krunya kerap membebaskan rakyat dari penindasan serta membongkar rahasia yang disembunyikan penguasa.

Bagi sebagian anak muda Indonesia, narasi ini bersinggungan dengan sejarah bangsa: masa ketika pejuang kemerdekaan kerap dicap perompak atau pemberontak oleh pemerintah kolonial, dan era setelahnya di mana pelabelan serupa digunakan untuk melemahkan pihak yang dianggap menantang kekuasaan.

Kontrol Simbol yang Tak Pernah Hilang

Konstitusi menjamin kebebasan berekspresi, namun praktik politik Indonesia tetap berhati-hati terhadap simbol yang berpotensi dimaknai sebagai ajakan perlawanan. Pada masa Orde Baru (1966–1998), berbagai lambang—dari bendera gerakan separatis hingga simbol ideologi tertentu—dilarang keras.

Logikanya sederhana: mengendalikan simbol berarti mengendalikan narasi, dan mengendalikan narasi berarti menjaga kekuasaan.

Era Reformasi memang membuka ruang lebih luas, tetapi pola pengendalian simbol belum hilang. Pelarangan Jolly Roger berada dalam logika yang sama dengan larangan bendera Bintang Kejora di Papua, tanda organisasi milisi tertentu, atau atribut politik asing.

Masalahnya bukan pada makna literal gambar tersebut, melainkan pada potensi simbol itu menjadi titik kumpul bagi ekspresi anti-otoritas.

Fenomena Regional dan Efek Balik

Kewaspadaan ini bukan fenomena khas Indonesia. Di Thailand, warna pakaian menjadi simbol politik. Di Vietnam, bendera pra-komunis menjadi tabu.

Di Malaysia, unsur budaya pop bisa disensor jika dianggap bertentangan dengan nilai nasional. Indonesia bergerak dalam arus yang sama: langkah pencegahan simbol yang dianggap berpotensi mengganggu stabilitas.

Namun, ada paradoks yang sulit dihindari. Di era digital, pelarangan simbol justru sering memperluas penyebarannya. Jolly Roger sudah menjadi bagian dari budaya internet dan fandom global. Ketika dilarang, maknanya bisa bergeser: dari sekadar simbol fiksi menjadi lambang perlawanan.

Fenomena ini mengingatkan pada Streisand Effect, di mana upaya menutup akses terhadap suatu hal justru membuatnya semakin terkenal.

Di kalangan anak muda yang tumbuh dengan budaya pop global, pelarangan ini bisa saja memperkuat asosiasi antara bendera bajak laut dan semangat menantang ketidakadilan.

Pertarungan Memperebutkan Ruang Narasi

Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar gambar di selembar kain, melainkan siapa yang berhak menentukan batas kebebasan berekspresi di Indonesia.

Pemerintah berada dalam dilema: menjaga stabilitas di tengah keragaman, sekaligus memastikan ruang budaya dan kreativitas tidak tercekik oleh kewaspadaan berlebihan.

Dalam One Piece, kekuatan terbesar “World Government” bukanlah armada perang, melainkan kemampuannya mengontrol sejarah dan menekan kebenaran.

Namun, pelajaran yang terus muncul—baik di dunia fiksi maupun kenyataan—adalah bahwa gagasan tentang kebebasan sulit dibungkam.

Dan mungkin di sini letak ironi terbesar: justru dengan melarangnya, negara berisiko memberi Jolly Roger makna baru—sebagai bendera yang, di mata sebagian orang, layak dikibarkan dalam hati mereka.

Artikel Terbaru

AI sebagai Komposer Baru: Krisis, Revolusi, dan Reinterpretasi Musikalitas

I tidak hanya membantu merekam melodi yang sudah kita buat; ia bisa mengajukan melodi, membuat harmoni, memproduksi beat utuh, bahkan menciptakan lirik yang secara emosional resonan—dan kini, ia bahkan memiliki "wajah" dan "suara" yang menghasilkan miliaran Rupiah.

Ketika Seorang Sukidi Membunyikan Alarm, dan Gereja Justru Diam

INNNEWS - Tulisan Sukidi di harian Kompas berjudul “Alarm bagi Demokrasi” (13 November 2025)...

Suara Kegusaran di Tengah Euforia Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan

INNNEWS - Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan...

Pelatihan Menulis Aksara Jawa di PKK Kelurahan Danukusuman: Menjaga Warisan Leluhur di Era Digital

INNNEWS— Dalam upaya melestarikan budaya lokal di tengah arus modernisasi, PKK Kelurahan Danukusuman menggelar...

artikel yang mirip

AI sebagai Komposer Baru: Krisis, Revolusi, dan Reinterpretasi Musikalitas

I tidak hanya membantu merekam melodi yang sudah kita buat; ia bisa mengajukan melodi, membuat harmoni, memproduksi beat utuh, bahkan menciptakan lirik yang secara emosional resonan—dan kini, ia bahkan memiliki "wajah" dan "suara" yang menghasilkan miliaran Rupiah.

Ketika Seorang Sukidi Membunyikan Alarm, dan Gereja Justru Diam

INNNEWS - Tulisan Sukidi di harian Kompas berjudul “Alarm bagi Demokrasi” (13 November 2025)...

Suara Kegusaran di Tengah Euforia Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan

INNNEWS - Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan...