3,662 total views
INN NEWS – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pada 6 Januari 2025 sebagai salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto, bertujuan meningkatkan gizi anak-anak sekolah, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Namun, sejak implementasinya, program ini menuai sorotan karena sejumlah kasus keracunan makanan yang dialami ratusan siswa di berbagai daerah. Artikel ini mengulas fakta-fakta dan kasus-kasus terkait untuk memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan pelaksanaan MBG.
Fakta-Fakta Program MBG dan Isu Keracunan
Tujuan dan Skala Program MBG
Program MBG, yang dikelola Badan Gizi Nasional (BGN), menargetkan 19,47 juta penerima manfaat pada 2025, termasuk siswa dari PAUD hingga SMA, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Anggaran sebesar Rp71 triliun dialokasikan dari APBN 2025 untuk menyediakan makanan bergizi yang memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Program ini juga bertujuan menggerakkan ekonomi lokal dengan melibatkan UMKM, petani, dan nelayan dalam rantai pasok.
Kasus Keracunan yang Berulang
Sejak Januari 2025, laporan kasus keracunan makanan dari program MBG telah muncul di berbagai daerah. Ratusan siswa dilaporkan mengalami gejala seperti mual, muntah, pusing, sakit perut, hingga diare setelah mengonsumsi makanan MBG.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran publik terhadap keamanan pangan dan tata kelola program.
Penyebab Utama Keracunan
Berdasarkan himpunan informasi INN dari fakta-fakta di lapangan, penyebab utama keracunan meliputi:
Kesalahan teknis pengolahan makanan, seperti makanan yang tidak matang sempurna atau terkontaminasi bakteri.
Kualitas bahan pangan yang buruk, termasuk ayam yang berbau basi atau masih mentah.
Kurangnya standar operasional prosedur (SOP) yang ketat, seperti penyimpanan sampel makanan yang tidak memadai atau pengawasan yang lemah.
Kontaminasi bakteri, virus, atau parasit, seperti Norovirus, Toxoplasma gondii, atau Giardia, yang dapat terjadi akibat air atau makanan yang tidak higienis.
Tantangan Tata Kelola
Menurut Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), tata kelola MBG masih memerlukan perbaikan signifikan. Petunjuk teknis (juknis) belum mengatur secara rinci standar kebersihan, keamanan pangan, pengemasan, dan distribusi.
Regulasi yang lebih kuat, seperti peraturan presiden, diperlukan untuk memperjelas koordinasi lintas sektor dan hubungan pusat-daerah.
Dampak dan Respons Publik
Kasus keracunan memicu keresahan di kalangan masyarakat, yang tercermin dari unggahan di media sosial. Sejumlah warganet menyebut program ini “makan beracun” alih-alih “makan bergizi” dan menyerukan evaluasi menyeluruh.
Pemerintah, melalui BGN, menyatakan bahwa kasus-kasus ini adalah “human error” dan telah menangani insiden dengan cepat, termasuk menarik makanan bermasalah dan memperketat SOP.
Kasus-Kasus Keracunan Terkait MBG
Berikut adalah sejumlah kasus keracunan yang dilaporkan sejak Januari 2025:
SDN Banaran, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur (2 Oktober 2024)
Kronologi: Tujuh siswa SDN Banaran mengalami keracunan setelah menyantap makanan dari uji coba MBG tahap II. Gejala meliputi mual, diare hebat, pusing, dan muntah.
Penyebab: Diduga karena anak-anak mengonsumsi makanan yang sudah tidak layak (berbau) setelah mengambil paket yang disisihkan oleh guru.
Penanganan: Enam siswa diperbolehkan rawat jalan, satu siswa dirawat di UGD Puskesmas Kertosono. Sekolah memusnahkan sisa makanan.
SDN Dukuh 03, Sukoharjo, Jawa Tengah (16 Januari 2025)
Kronologi: Sebanyak 40 siswa dari kelas 1 hingga 6 mengalami mual, muntah, dan pusing setelah menyantap menu MBG berupa nasi, ayam goreng tepung, tumis wortel, tahu, buah naga, dan susu. Beberapa siswa melaporkan ayam berbau basi.
Penyebab: Kesalahan teknis pengolahan, khususnya ayam yang kurang matang. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyebut ini sebagai “human error”.
Penanganan: Makanan ditarik dan diganti dengan telur rebus. Siswa yang terdampak dirawat di Puskesmas Sukoharjo dan pulih. Sampel makanan diperiksa Dinas Kesehatan. Presiden Prabowo memanggil Kepala BGN untuk evaluasi.
SDN Tebing Tinggi, Empat Lawang, Sumatera Selatan (17 Februari 2025)
Kronologi: Delapan siswa mengalami sakit perut, mual, dan muntah setelah mengonsumsi makanan MBG.
Penyebab: Belum diketahui secara pasti, tetapi dugaan awal menunjukkan masalah pada pengolahan atau kualitas bahan makanan.
Penanganan: Siswa dilarikan ke Puskesmas Tebing Tinggi untuk perawatan.
SDN 2 Alaswangi, Pandeglang, Banten (19 Februari 2025)
Kronologi: Sebanyak 28 siswa mengalami pusing, mual, muntah, dan diare setelah menyantap makanan MBG.
Penyebab: Tidak disebutkan secara spesifik, tetapi diduga terkait kebersihan atau kualitas makanan.
Penanganan: Siswa dibawa ke Puskesmas untuk perawatan medis.
Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (24 Februari 2025)
Kronologi: Beberapa siswa mengalami sakit perut dan trauma setelah menyantap makanan MBG. Pihak sekolah menemukan ayam dalam kondisi mentah dan berdarah.
Penyebab: Makanan mentah dan tidak layak konsumsi.
Penanganan: Belum ada laporan rinci tentang penanganan medis, tetapi kasus ini memicu sorotan media.
Mangarabombang, Takalar, Kalimantan Selatan (26 Februari 2025)
Kronologi: Sebanyak 13 siswa dari tiga sekolah dasar mengalami mual, pusing, dan sakit perut setelah mengonsumsi makanan MBG.
Penyebab: Belum diidentifikasi secara pasti, tetapi dugaan awal menunjukkan masalah pada proses pengolahan atau penyimpanan.
Penanganan: Siswa dilarikan ke Puskesmas untuk perawatan.
MAN 1 Cianjur, Jawa Barat (21 April 2025)
Kronologi: Sebanyak 38 siswa mengalami muntah, mual, pusing, dan diare setelah mengonsumsi makanan MBG.
Penyebab: Diduga karena makanan terkontaminasi atau tidak diolah dengan baik.
Penanganan: Siswa dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan. Insiden ini memicu kritik keras dari warganet yang menyerukan perbaikan sistem keamanan pangan.
Rekomendasi
Kasus keracunan yang berulang menunjukkan adanya kelemahan dalam rantai pasok, pengolahan, dan distribusi makanan MBG.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah kejadian serupa meliputi:
Peningkatan SOP dan Pengawasan: Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus menerapkan standar kebersihan dan keamanan pangan yang ketat, termasuk penyimpanan sampel makanan selama 48 jam untuk pelacakan.
Pelatihan Petugas: Pelaku rantai pasok, termasuk katering dan UMKM, perlu dilatih untuk memastikan makanan diolah secara higienis dan aman.
Regulasi yang Lebih Kuat: Pemerintah perlu menetapkan payung hukum setingkat peraturan presiden untuk memperjelas tanggung jawab lintas sektor.
Transparansi dan Edukasi: Pemerintah harus transparan dalam menangani kasus keracunan dan melibatkan ahligizi untuk memastikan menu memenuhi AKG. Edukasi kepada siswa dan orang tua tentang keamanan pangan juga penting.