139 total views
INN NEWS – Masyarakat Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan perekonomian tahun depan akibat pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pemerintah sendiri padahal menyadari bahwa kebijakan tersebut akan semakin menekan daya beli masyarakat menengah-bawah.
Sementara itu, DPR RI pun telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Progtam Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025 yang menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk kembali menggelar Program Tax Amnesty Jilid III.
Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun kepada wartawan di Gedung Bappenas, Selasa (19/11) mengatakan bahwa pembahasan mendalam terkait substansi program Tax Amnesty akan menjadi agenda selanjutnya.
Katanya, pentingnya diskusi dengan pemerintah untuk menentukan sektor apa saja yang akan dicakup, perlindungan yang diberikan, serta mekanisme pelaksanaan program Tax Amnesty.
“Kita nanti akan berbicara dulu dengan pemerintah, di masa sidang mana mereka akan mengusulkan dan membahas ini,” ujar Misbakhun.
Kebijakan Tax Amnesty mendapat kritik dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Ia menganggap bahwa kebijakan itu tidak efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak. Meskipun telah ada dua kali program Tax Amnesty, rasio pajak Indonesia tetap tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Lanjutnya, pengampunan pajak yang seringkali dilaksanakan justru berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, terutama di kalangan orang kaya dan korporasi besar.
“Pastinya pengemplang pajak akan berasumsi setelah Tax Amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali,” ujar Bhima, melansir Kontan.co.id, Rabu (20/11).
Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang cenderung berfokus pada pelaksanaan tax amnesty tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pencocokan data aset dari program tax amnesty sebelumnya.
Menurutnya, alih-alih memaksimalkan potensi pajak yang ada, pemerintah malah meluncurkan program pengampunan pajak baru yang dinilai tidak memberikan solusi jangka panjang terhadap masalah kepatuhan pajak.
“Saya gagal paham dengan logika pajak pemerintah. Toh, pengusaha kan sudah menikmati tarif PPh Badan yang terus menurun,” kata Bhima.
Di sisi lain, Bhima juga menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak negatif dari kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Kenaikan PPN tersebut menurutnya akan memberikan tekanan pada daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, sekaligus memukul pelaku usaha, terutama di sektor ritel dan industri pengolahan.
Hal ini, lanjut Bhima, berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor-sektor tersebut.